DAPTAR ISI

Selasa, 07 Juni 2011

PETERNAK-MODRN

Senin, 06 Juni 2011

Potensi Ampas Tahu Sebagai Bahan Makanan Ternak itik

Potensi Ampas Tahu Sebagai Bahan Makanan Ternak

PENDAHULUAN
Ransum merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi produksi. Biaya yang dikeluarkan untuk pemberian ransum adalah 70% dari total biaya produksi (Listiyowati dan Roospitasari, 1992). Tingginya biaya produksi ini perlu ditanggulangi dengan menyusun ransum sendiri dengan memanfaatkan bahan-bahan yang mudah didapat, dengan harga yang relatif lebih murah, tetapi masih mempunyai kandungan gizi yang baik untuk produksi dan kesehatan ternak itu sendiri (Mairizal, 1991).
Usaha untuk menekan biaya makanan adalah mencari bahan makanan yang tidak bersaing dengan manusia, harganya murah, memiliki nilai gizi yang cukup tinggi, tersedia secara kontinyu, disukai ternak serta tidak membahayakan bagi ternak yang memakannya (Sulistiowati (1995).
Ampas tahu adalah salah satu bahan yang dapat digunakan sebagai bahan penyusun ransum. Sampai saat ini ampas tahu cukup mudah didapat dengan harga murah, bahkan bisa didapat dengan cara cuma-cuma. Ditinjau  dari  komposisi  kimianya  ampas  tahu  dapat  digunakan sebagai sumber protein. Mengingat kandungan protein dan lemak pada ampas tahu yang tinggi yaitu protein 8,66%; lemak 3,79%; air 51,63% dan abu 1,21%, maka sangat memungkinkan ampas tahu dapat diolah menjadi bahan makanan ternak.
Potensi Ampas Tahu Sebagai Bahan Makanan Ternak
Ampas tahu merupakan limbah dalam bentuk padatan dari bubur kedelai yang diperas dan tidak berguna lagi dalam pembuatan tahu dan cukup potensial dipakai sebagai bahan makanan ternak karena ampas tahu masih mengandung gizi yang baik dan dapat digunakan sebagai ransum ternak besar dan kecil. Penggunaan ampas tahu masih sangat terbatas bahkan sering sekali menjadi limbah yang tidak termanfaatkan sama sekali  (Wiriano 1985)
Ampas tahu dalam keadaan segar berkadar air sekitar 84,5% dari bobotnya. Kadar air yang tinggi dapat menyebabkan umur simpannya pendek. Ampas tahu kering mengandung air sekitar 10,0-15,5%, sehingga umur simpannya lebih lama dibandingkan dengan ampas tahu segar (Widyatmoko,1996). Ampas tahu basah akan segera menjadi asam dan busuk dalam 2-3 hari sehingga tidak disukai oleh ternak. Masalah itu dapat ditanggulangi dengan cara menjemur di bawah panas matahari atau dimasukkan dalam oven.
Peningkatan nilai gizi pada ampas tahu
Produk sampingan pabrik tahu ini apabila telah mengalami fermentasi dapat meningkatkan kualitas pakan dan memacu pertumbuhan ayam pedaging, juga telah digunakan sebagai pakan sapi bahkan ayam pedaging.
Namun karena kandungan air dan serat kasarnya yang tinggi, maka penggunaannya menjadi terbatas dan belum memberikan hasil yang baik. Guna mengatasi tingginya kadar air dan serat kasar pada ampas tahu maka dilakukan fermentasi.
Proses fermentasi dengan menggunakan ragi yang mengandung kapang Rhizopus Oligosporus dan R Oryzae. Proses fermentasi akan menyederhanakan partikel bahan pakan, sehingga akan meningkatkan nilai gizinya. Bahan pakan yang telah mengalami fermentasi akan lebih baik kualitasnya dari bahan bakunya. Fermentasi ampas tahu dengan ragi akan mengubah protein menjadi asam-asam amino, dan secara tidak langsung akan menurunkan kadar serat kasar ampas tahu. Analisis proksimat ampas tahu mempunyai kandungan nutrisi cukup baik sebagai bahan ransum sumber protein. Ampas tahu mengandung protein kasar 21,29%, lemak 9,96%, SK 19,94% (Syaiful, 2002) kalsium 0,61%, phospor 0,35%, lisin 0,80%, methionin 1,33% (Lab. IPB, 1995).
Aman Untuk Unggas
Menurut L. D. Mahfudz, E. Suprijatna dan W. Sarengat melakukan riset untuk mangkaji ampas tahu fermentasi sebagai bahan pakan serta menganalisa pengaruhnya sebagai bahan penyusun ransum ayam pedaging strain Arbor Acres umur 1 minggu “unsex” dengan berat badan rata-rata 120,08±15,58 g. Ampas tahu sebelum dipakai sebagai bahan penyusun ransum difermentasi dengan ragi yang mengandung kapang Rhyzopus Oligosporus dan R. Oryzae. Ransum disusun dengan kandungan protein dan energi yang sama (iso protein dan iso energi). Ransum periode awal mengandung protein 22% dan energi metabolis 2.900 kkal/kg, sedang ransum periode akhir mengandung protein 20% dan energi metabolis 3.000 kkal/kg. secara nyata memperlihatkan adanya peningkatan konsumsi pakan, pertambahan berat badan, berat badan akhir dan berat karkas, seiring dengan meningkatnya level ampas tahu dalam pakan. Namun persentase karkas secara nyata tidak berbeda, sedangkan konversi pakan secara nyata lebih baik dengan pemberian ampas tahu fermentasi.
Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Tanwiriah.W, Garnida D, Asmara.I.Y, pemberian ransum yang mengandung tepung ampas tahu 30% dengan kandungan serat kasar ransum 87% masih menghasilkan pertambahan bobot badan yang tidak berbeda dengan ransum kontrol. Hal ini membuktikan bahwa entok bisa mentolerir kandungan serat kasar ransum yang lebih tinggi dari 8%. Begitupun konversi ransum, pemberian ransum yang mengandung tepung ampas tahu tidak berbeda, karena konsumsi ransum tidak berbeda demikian juga dengan pertambahan bobot badan. Selain itu konversi yang sama memperlihatkan bahwa semua ransum mempunyai tingkat efisiensi yang sama, meskipun mempunyai kandungan serat kasar yang berbeda.
Kesimpulan
Tekhnologi fermentasi dapat merubah komposisi kimia ampas tahu menjadi bernilai gizi lebih baik, fermentasi ampas tahu dengan ragi akan mengubah protein menjadi asam-asam amino, dan secara tidak langsung akan menurunkan kadar serat kasar ampas tahu.
Pemberian ransum yang mengandung tepung ampas tahu 30% menghasilkan pertambahan bobot badan yang tidak berbeda dengan ransum kontrol, begitupun pada konversi ransum.
Dengan demikian pemberian ampas tahu dengan batasan tertentu memberikan dapak yang positif terhadap unggas.
Daftar pustaka
Amrullah, A. K. 2003. Nutrisi unggas. Lembaga Satu Gunung budi, Bogor.
Anggorodi, 1985. Kemajuan Mutakhir dalam Ilmu Makanan Ternak Unggas. U-I Press. Jakarta.
Anggorodi, 1995. Nutrisi Aneka Ternak Unggas. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Mairizal, 1991. Penggunaan ampas tahu dalam ransum unggas. Poultry Indonesia, No. 133.
Rasyaf, M. 1987. Memelihara Burung Puyuh. Penerbit. Kanisius, Yogyakarta.

Tulisan  ini bebas dikutip asal disebutkan sumbernya (http://uripsantoso.wordpress.com)

Semoga bermanfaat !
Artikel yang berhubungan :

Pengaruh Penggunaan Tepung Ampas Tahu Dalam Ransum Itik Tegal Dewasa Terhadap Koefisien Cerna Protein, Retensi Nitrogen Dan Utilisasi Protein Neto. (The Effect of Tofu Waste in the Diet on the Protein : Digestibility Coefficient, Retention and Net Utilization of Mature Female Tegal Duck).

Program Studi Produksi Ternak September 2005
Pengaruh Penggunaan Tepung Ampas Tahu Dalam Ransum Itik Tegal Dewasa
Terhadap Koefisien Cerna Protein, Retensi Nitrogen Dan Utilisasi Protein Neto.
(The Effect of Tofu Waste in the Diet on the Protein : Digestibility Coefficient, Retention
and Net Utilization of Mature Female Tegal Duck).
DEDI ANDRIAN. H2B 000 021. 2005.
(Pembimbing.: BAMBANG SRIGANDONO dan SRI KISMIATI).
ABSTRAK
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September sampai Desember 2003 di Laboratorium
Ilmu Ternak Unggas Fakultas Petemakan Universitas Diponegoro Semarang. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui seberapa besar bahan pakan yang berasal dari limbah industri
tahu dapat digunakan sebagai bahan pakan pada itik Tegal. Manfaat yang diharapkan dari
penelitian ini adalah dapat memberikan informasi tentang level penggunaan tepung ampas
tahu dalam ransurn itik Tegal. Meteri yang digunakan dalam penelitian ini adalah 60 ekor itik
Tegal betina yang berumur 20 minggu. Bahan pakan yang digunakan meliputi jagung kuning
giling, bekatul, bungkil kelapa, tepung ikan dan tepung ampas tahu. Pakan yang diberikan
disusun berdasarkan iso energi dengan Energi Metabolis (EM) 2800 Kkal/kg dan iso protein
dengan Protein Kasar (PK) 18%. Alat yang digunakan meliputi 20 petak kandang, higrometer,
alat timbang, kandang batery, tempat pakan dan minurn serta indikator Cr,03 dan HCI 2N.
rancangan yaag digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) berdasarkan bobot
badan, yaitu K1 = 1171-1241g; K2 = 1242-1312 g; K3 = 1313-1383 g; K4 = 1384-1454 g; K5
= 1455-1525 g dan tiap unit percobaan terdiri dari 3 ekor itik Tegal betina. Itik dibedakan
menjadi 4 perlakuan, yaitu :
- TO Ransum tanpa tepung ampas tahu
- TI Ransum dengan menggunakan 7,5% tepung ampas tahu
- T2 Ransurn dengan menggunakan 10% tepung ampas tahu
- T3 Ransum dengan menggunakan 12,5% tepung ampas tahu
Parameter yang diamati adalah koefisien cerna protein, retensi nitrogen dan utilisasi protein
neto. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan berbagai level ampas tahu tidak
berpengaruh secara nyata (P>0,05) terhadap koefisien cerna protein, retensi nitrogen dan
utilisasi protein neto. Kesimpulan dari penelitian ini adalah ampas tahu dapat digunakan
sebagai bahan pakan dalam ransum itik petelur sampai 12,5%.
Kata Kuncl : itik Tegal, tepung ampas tahu, koefisien cerna protein, retensi nitrogen, utilisasi
protein neto.

RANSUM ITIK PETELUR (DUCK LAYER)

jajo66.wordpress.com
1
RANSUM ITIK PETELUR (DUCK LAYER)
SNI 01-3910-1995
PENDAHULUAN
Untuk melaksanakan kegiatan pengawasan terhadap
ransum itik petelur (duck layer) maka diperlukan suatu
standar yang harus dipenuhi.
1. Ruang Lingkup
Standar ini meliputi deskripsi, klasifikasi,
persyaratan mutu, bahan baku, bahan tambahan/
imbuhan, penandaan dan pengemasan, serta cara
pengambilan contoh dan metode analisis.
2. Deskripsi
a. Ransum adalah campuran beberapa bahan baku
pakan hasil pabrik/industri yang diedarkan/
diperjualbelikan.
b. Bahan baku pakan terdiri dari hasil pertanian,
bahan asal hewan/ikan dan hasil industri beserta
hasil ikutannya berikut bahan imbuhan.
c. Ransum itik petelur (duck layer) adalah ransum
itik petelur umur diatas 24 minggu
3. Klasifikasi
Ransum itik petelur digolongkan dalam 1 (satu)
tingkatan mutu.
4. Persyaratan
Persyaratan mutu meliputi kandungan zat makanan
dan kandungan bahan pelengkap/ imbuhan serta
batas toleransi
4.1. Persyaratan Mutu Standar untuk ransum itik
petelur (duck layer) sebagai berikut:
a. Kadar air (%, maksimum) 14.0
b. Protein kasar (%, minimal) 18.0
c. Lemak kasar (%, minimal) 3.5
d. Serat kasar (%, maksimum) 7.5
e. A b u (%, maksimal) 14.0
f . Calsium (%, minimal) 3.25-4.0
g. Fosfor (%, minimal) 0.6
h. Fosfor Tersedia 0.4
i. Energi Metabolis (kkal/kg, minimal) 2800
j. Aflatoxin (ppb, maksimum) 20
k. Asam amino
Lisin (%, minimum) 0.70
Metionin (%, minimum) 0.35
Metionin + Sistien (%, minimal) 0.65
4.2. Ransum
Ransum harus tidak melewati ambang batas
cemaran mikroba dan residu zat kimia dan
obat-obatan yang membahayakan kesehatan
manusia sesuai dngan ketentuan yang
berlaku.
4.3. Bahan Pelengkapan atau Imbuhan
Jenis bahan imbuhan atau tambahan mengacu
pada Peraturan Pemerintah (PP) No. 78 Tahun
1992:
Pelengkap Pakan: vitamin,mineral, asam amino
Imbuhan: medikasi, pemacu pertumbuhan
(growth promotant)
5. Penandaan dan Pengemasan
5.1. Penandaan
Kemasan ransum yang diperedarkan diwajibkan
melalui proses sertifikasi dengan dilengkapi
etiket/label yang mencantumkan:
a. Nama atau merek ransum
b. Nama atau alamat perusahaan pembuat
c. Nomor izin perusahaan pembuat
d. Jenis dan kode ransum
e. Bentuk ransum (tepung atau butiran atau
pellet)
f. Berat netto ransum dalam kemasan
g. Persentase kadar air (maks)
h. Persentase kadar protein kasar (min)
i. Persentase lemak kasar (min)
j. Persentase serat kasar (maks)
k. Nilai energi termetabolis (min)
l. Kandungan asam amino
Lisin (min)
Metionin (min)
Metionin + Sistin (min)
m. Aflatoxin (maks)
n. Bahan baku penyusun ransum
o. Tanggal dan atau kode produksi
p. Cara penggunaan ransum
q. Warna dasar etiket hijau muda dengan
kode Pengenal IP4
5.2. Pengemasan
a. Ransum dikemas dalam kemasan 5 kg, 10
kg 25 kg, 50 kg dan curah (bulk)
jajo66.wordpress.com
2
b. Ransum yang tidak dikemas mengikuti
ketentuan-ketentuan curah
6. Pengambilan Contoh dan Analisis
6.1. Pengambilan Contoh
Pengambilan contoh dilakukan oleh petugas
pengawas mutu pakan yang bersertifikat dan
berpengalaman. Contoh diambil di pabrik dan
di lapangan.
6.2. Pengambilan contoh untuk kemasan
6.2.1. Contoh diambil secara acak sebanyak
akar pangkat 2 (dua) dari sejumlah
karung dengan maksimum dari 30
karung yang akan diperiksa
6.2.2. Contoh dari setiap kemasan diambil dari
bagian atas, tengah dan bawah,
kemudian diaduk, diambil tiga bagian
secara diagonal +sebanyak 250 gram
dan dibungkus serta disegel dihadapan
pemilik/petugas perusahan dengan
sebuah duplikat yang juga disegel dan
disimpan pada perusahaan.
6.2.3. Contoh tersebut dalam keadaan disegel
dan setelah diberi nomor kode oleh
petugas pengawas mutu pakan dikirim
ke Balai Pengujian Mutu yang ditunjuk
untuk dianalisis.
6.3 Pengambilan contoh untuk curah
Ransum dalam bentuk curah pengawasan
dan pengambilan contoh mengikuti prosedur
yang berlaku untuk bahan-bahan baku dan
bahan jadi curahan
6.4 Analisis
6.4.1. Analisis Proksimat A.O.A.C (Association
of Official Agriculture Chemists) dan
metode lainnya yang telah disetujui
oleh lembaga yang berwenang.
6.4.2. Pada kadar protein contoh yang
‘mencurigakan’ dan ‘meragukan’ perlu
dilakukan pemeriksaan terhadap
kandungan asam amino.
.

PENGELOLAAN TERNAK ITIK DI PEKARANGAN RUMAH

©2004 Digitized by USU digital library 1
PENGELOLAAN TERNAK ITIK DI PEKARANGAN RUMAH
ENIZA SALEH
Jurusan Peternakan
Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara
I. Pendahuluan
Ternak itik disebut juga sebagai unggas air, karena sebagian kehidupannya dilakukan di tempat yang berair. Hal ini ditunjukkan dari struktur fisik seperti selaput jari dan paruh yang lebar dan panjang. Selain bentuk fisik dapat juga dilihat bahwa keberadaannya di muka bumi ini, dimana itik kebanyakan populasinya berada di daerah dataran rendah, yang banyak dijumpai di rawa-rawa, persawahan, muara sungai. Daerah-daerah seperti ini dimanfaatkan oleh itik menjadi tempat bermain dan mencari makan.
Sebelum program intensifikasi pertanian menjadi program nasional, pemeliharaan itik secara tradisional atau dengan digembala memang sangat menunjang konsep pengendalian hama pertanian secara terpadu. Itik umumnya mencari makan di permukaan sawah dan sekitar batang/rumpun pada batang padi. Namun sejak penggunaan obat-obatan pembasmi hama pertanian makin intensif dan adakalanya dosisnya berlebihan, kasus keracunan itik sering menimbulkan konflik sosial. Pemeliharaan itik secara tradisional makin mengandung resiko besar.
Melihat gambaran ini, mengubah kebiasaan cara pemeliharaan dari cara tradisional ke arah pemeliharaan intensif memang perlu, sebab bagai manapun juga mempertahankan pemeliharaan tradisional dimasa mendatang tidak bisa diharapkan. Hal ini disebabkan pertama, makanan itik disawah atau dihabitatnya makin langka akibat penggunaan obat-obatan pembasmi hama; kedua, tingkat produktifitas itik yang dipelihara secara tradisional makin kurang nilai ekonominya, hanya bekisar antara 10-41% atau rata-rata 22,5% (lebih kurang 80 butir telur setahun). Hal ini menuntut para ilmiawan untuk memperkenalkan metode baru dalam mengelola ternak itik.
Balai Penelitian Ternak (BPT) Ciawi Bogor memperkenalkan alternatif pemeliharaan ternak itik secara terkurung. Ternyata dengan percobaan-percobaan yang telah dilakukan, ternak itik dapat berkembang dan berproduksi sama bahkan dapat melebihi dari hasil pemeliharaan berpindah-pindah (tradisional).
Tentu saja tehnik pemeliharaan secara terkurung menuntut berbagai disiplin iilmu dan teknologi yang perlu diterapkan oleh peternak. Namun sebenarnya tuntutan tersebut tidaklah merugikan peternak, malahan akan memberikan hasil yang baik.
Melaksanakan “Sapta Peternakan” peternak akan dapat memperoleh hasil yang optimal. Sapta Peternakan itu adalah :
1. Tempat bibit
2. Tempat makanan (pakan)
3. Tempat perkandangan
4. Tempat kontrol penyakit
5. Tempat pasca panen
6. Tempat pemasaran
7. Tempat pengelolaan
II . Pengenalan dan Pemilihan Bibit
Untuk itik jenis pedaging atau petelur dan pejantan bibit, harus mempunyai sifat-sifat :
a. Pertumbuhan badannya cepat tetapi besar badan seragam, tidak mempunyai cacat tubuh. Berat itik pejantan muda pada umur 20 minggu adalah 1,6 kg, pada umur 40 minggu adalah 1,8 kg. Berat itik betina muda pada umur 20 minggu adalah 1,4 kg, pada umur 40 minggu beratnya 1,6 kg.
b. Pertumbuhan bulunya cepat dan warna bulu seragam. Bulu sudah harus lengkap pada umur 14 hari.
c. Cepat mencapai dewasa kelamin atau umur mulai bertelur adalah 5 –6 bulan.
d. Mempunyai daya hidup yang tinggi, hal ini dapat diukur dari angka kematian yang rendah. Angka kematian pada priode pemeliharaan anak (d.o.d) s/d mencapai umur mulai bertelur adalah sebesar 3%, dari awal bertelur s/d diafkir adalah sebesar 2%.
e. Telur yang diperoduksi sebesar 200–300 butir atau lebih pertahun sampai diafkir. Ternak itik sebaiknya diafkir setelah umurnya 1,5 tahun.
f. Kemampuan mengola pakan yang sering disebut angka konversi pakan harus kecil (nilainya 2 – 2,5).
Kg. Pakan
Konversi pakan =
Kg. Produksi telur
Artinya untuk menghasilkan 1 kg telur dibutuhkan pakan sebanyak 2,5 kg.
Untuk memperoleh bibit seperti di atas, peternak dapat melakukan :
1. Membeli bibit itik dari poultry shop yang memiliki breeding farm. Dengan demikian akan diperoleh jaminan :
(a) Kemurnian darah ras itik
(b) Keseragaman umur anak itik (DOD) dan beratnya juga seragam
(c) Keseragaman jenis kelamin
(d) Ketahanan terhadap penyakit sama, dan
(e) Kemampuan produksi dari bibit tersebut.
2. Melakukan pembibitan sendiri. Tahapan pekerjaan yang harus dilakukan adalah :
a. Pilih calon pejantan dan betina yang akan dijadikan sumber anak itik dengan syarat-syarat berikut :
- sehat dan tidak cacat.
- bentuk fisik yang disenangi.
- dihasilkan dari perkawinan itik yang sehat dan produksi telurnya banyak.
- umur diatas 8 bulan.
b. Pemelihara secara khusus, bedakan dengan ternak itik yang dipelihara hanya untuk tujuan pengutipan telur. Hal-hal yang harus dilakukan :
- pakan diusahakan lebih tinggi kadar gizinya.
- pengutipan telur lebih awal agar jangan tercemar.
- 1 ekor pajantan untuk 6 – 8 ekor betina.
- cegah terhadap penyakit Pullorum, karena penyakit ini disebarkan melalui telur.
c. Pilih telur dengan kriteria sebagai berikut :
- berat + 60 gram.
©2004 Digitized by USU digital library 2
©2004 Digitized by USU digital library 3
- bentuknya oval bulat lonjong, karena diduga yang lonjong adalah calon jantan.
- beri tanggal pada telur agar jelas umur telur, dieramkan sebaiknya umur telur jangan lebih 7 hari.
- simpan di ruangan yang bersih, segar tetapi tertutup.
d. Penetasan telur
Untuk penetasan telur itik dapat dipakai induk ayam, entok atau mesin tetas. Untuk 1 ekor ayam atau entok mampu mengerami 10 butir telur itik.
III. Makanan (pakan) Itik
Pedoman nutrisi pakan itik yang baku di Indonesia sampai sekarang memang belum ada, akan tetapi para peternak sendiri yang meramunya secara mencoba-coba. Para peternak biasanya menyusun pakan ternak itiknya berpedoman kepada formula dari luar negri, kemudian disesuaikan dengan bahan pakan yang ada di Indonesia.
Syarat pakan yang baik untuk ternak itik adalah sebagai berikut :
1. Ransum disusun dari bahan-bahan makanan yang mengandung gizi lengkap seperti protein, lemak, serat kasar, vitamin dan mineral. Susunlah dari beberapa jenis bahan makanan, semakin banyak ragamnya semakin baik, terutama dari sumber protein hewani.
2. Setiap bahan makanan digiling halus, kemudian dipadatkan dalam bentuk pil tau butiran, agar jangan banyak tercecer waktu itik memakannya. Bahan yang biasa digunakan untuk pakan itik adalah; dedak, jagung, bungkil kedele, bungkil kelapa, lamtoro, ikan, bekicot, remis, sisa dapur, tepung tulang, kepala/kulit udang dan lain-lain.
3. Jumlah pemberian dan kadar protein di sesuaikan dengan umur pertumbuhan dan produksi telur.
4. Tempat makanan harus dicegah jangan sampai tercemar jamur ataupun bakteri. Jadi harus selalu dalam keadaan bersih dan kering.
5. Sesuaikan jumlah tempat makanan dan minuman dengan jumlah itik, agar jangan saling berebutan pada waktu makan.
Formula ransum itik yang memenuhi syarat dapat dilihat dari Tabel 1. dan
jumlah kebutuhan ransum itik per ekor per hari dapat dilihat pada Tabel 2.
©2004 Digitized by USU digital library 4
Tabel 1. Formula Ransum Itik yang Memenuhi Syarat
Bahan Baku
Awal
( 0 – 4 mgg )
Dara
( 5 - 22 mgg )
Petelur
( 23 mgg dst)
Jagung giling
Dedak halus
Ubi kayu
Tepung ikan
Bungkil kelapa
Bungkil kedele
25 %
40 %
5 %
20 %
5 %
5 %
20 %
50 %
5 %
15 %
5 %
5 %
15 %
60 %
5 %
10 %
5 %
5 %
J u m l a h
Kadar protein Ransum
100 %
20 – 22 %
100 %
17 – 19 %
100 %
15 – 17 %
Tabel 2. Jumlah Kebutuhan Ransum (Pakan) per Ekor per Hari
Umur (minggu)
Jumlah (gr)
Umur (minggu)
Jumah (gr)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
15
30
40
60
65
70
70
72
74
74
75
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
76
76
70
70
80
80
95
90
90
100
110
Catatan : pada umur 23 minggu s/d diafkir : 120-175 per ekor per hari, tergantung produksi telur.
IV. Kandang Itik
Sama halnya seperti ternak ayam, maka ternak itik juga memerlukan kandang terutama pada malam hari. Oleh karena itu kandang itik harus memenuhi syarat- syarat sebagai berikut :
1. Mempunyai luas yang cukup untuk jumlah itik yang di pelihara, maupun untuk rencana perluasan usaha.
2. Terpisah dari tempat pemukiman/rumah
3. Mempunyai ventilasi udara yang cukup.
4. Cukup masuk sinar matahari, kandang sebaiknya menghadap ke timur.
5. Mudah dibersihkan, lantai kandang harus lebih tinggi dari tanah sekelilingnya dan harus padat lantainya. Tinggi kandangnya harus cukup bagi peternak untuk bekerja didalamnya.
6. Di dalam kandang tersedia alat perlengkapan pokok (tempat makan, tempat minum, alat pemanas buatan, tempat bertelur) bagi kepentingan hidup itik yang bersangkutan.
7. Terletak di daerah yang tenang, aman dan mempunyai sumber air yang cukup dan bersih.
8. Di sekeliling kandang dibuat parit pembuang air dan jarak antar kandang cukup jauh, minimum 1 x lebar kandang.
Ada 3 sistem dan tipe kandang yang dianjurkan yaitu :
1. Sistem Lantai (litter) adalah alternatif kandang yang digunakan didaerah yang mempunyai kondisi tanah berpasir atau kering (daerah pesisir) atau daerah yang memiliki tanah yang berdaya serap tinggi.
2. Sistem Panggung (slat) adalah alternatif kandang yang secara modren digunakan untung mengatasi masalah basahnya lantai. Kandang seperti ini memiliki nilai kesehatan tinggi sehingga sangat cocok digunakan didaerah yang mempunyai kondisi tanah basah dan kelembaban tinggi.
3. Kombinasi Sistem Lantai dan Panggung (litter dan slat) adalah sistem kandang yang secara modren memberi dua alternatif. Kandang panggung digunakan untuk tidur dan bertelur (sarang bertelur), sedangkan kandang lantai untuk bermain di siang hari.
Ketiga sistem kandang diatas dapat dilengkapi dengan kolam atau danau buatan agar itik yang dipelihara tidak merasa dibatasi kehidupannya.
Atap kandang itik mempunyai 3 macam tipe untuk daerah tropis antara lain :
1. Tipe Shade (miring tunggal). Tipe ini memungkian masuknya sinar matahari secara langsung sehingga akan mengurangi bau amoniak dalam kandang. Tipe Shade ini cocok untuk daerah yang tanahnya kering.
Contoh kandang itik tipe shade lantai, dengan kapasitas 100 ekor dan ukuran kandang 4 x 4 meter serta denah kandangnya.
2. Tipe Monitor (atap miring ganda) adalah tipe atap yang cocok untuk kandang itik di daerah bertanah basah dan kelembaban tinggi.
©2004 Digitized by USU digital library 5
Contoh kandang itik tipe monitor panggung, dengan kapasitas 100 ekor dan ukuran kandang 4 x 4 meter serta denah kandangnya.
3. Tipe Gable (kombinasi panggung dan lantai) adalah tipe atap untuk kandang itik didaerah yang mempunyai kondisi tanah basah dan kering atau musiman.
Contoh kandang tipe gable dengan kapasitas 100 ekor itik dan ukuran kandang 4 x 4 m serta denah kandangnya.
©2004 Digitized by USU digital library 6
©2004 Digitized by USU digital library 7
Ukuran kepadatan kandang untuk ukuran 1 x 1 meter dapat menampung :
1. Anak itik : 10 – 20 ekor
2. Iik remaja : 8 – 10 ekor
3. itik dewasa : 6 – 7 ekor
V. Tata Laksana Pemeliharaan Itik
Kunci keberhasilan usaha produksi ternak itik terletak pada pelaksanaan program tata laksana pemeliharaan itik sampai umur 22 minggu. Kesalahan nutrisi pada masa pertumbuhan ini bisa menyebabkan itik terlambat mencapai kedewasaan kelamin sehingga itik tidak bisa berproduksi pada umur yang diharapkan.
Dalam usaha ternak itik secara intensif, ada tiga evaluasi pokok yang memiliki andil keberhasilan yakni :
1. Bibit itik; karakteristik ekonominya dalam menunjang keberhasilan usaha adalah 20%.
2. Makanan itik; dalam menunjang keberhasilan usaha mempunyai andil sebesar 30%.
3. Tata laksana pemeliharaan, termasuk kandang, cara pemeliharaan dan keterampilan, memegang peranan paling besar yakni 50%.
V.1. Pemelihraan Anak Itik
Sebelum anak itik ditempatkan setelah menetas, yaitu pada lingkaran yang terbuat dari tripleks, harus dilakukan persiapan sebelumnya seperti penyemprotan desinfektandan pengaturan lampu pemanas dalam lingkaran tripleks tersebut agar kesehatan anak itik terjamin.
Untuk menghindari angin yang masuk, mengingat bulu anak itik masih halus dan tidak tahan udara dingin, usahkan dinding kandang ditutup dengan tirai plastik. Seelah 4 hari, tirai plastik dapat dibuka pada siang hari, dan pda malam hari ditutup kembali. Pada umur 4 minggu tirai plastik dapat dilepas semua sebab anak itik sudah memiliki bulu yang cukup tebal, namun kalau ada hujan lebat atau ada angin kencang, tirai plastik masih diperlukan.
Induk buatan dengan alat pemanas lampu minyak atau lampu listrik sangat diperlukan sampai umur 3 minggu. Pada umur diatas 4 minggu lampu digunakan hanya sebagai alat penerang saja.
Suhu alat pemanas yang baik adalah sebagai berikut :
- Minggu I : 320 C
- Minggu II : 270 C
- Minggu III : 210 C
Untuk melihat suhu (panas) yang baik untuk anak itik dapat dilihat dari penyebaran anak itik di bawah alat pemanas dalam lingkaran triplek (pelingkar), seperti gambar di bawah ini.
Gambar 7 . Kemingkinan keadaan suhu udara pada alat pemanas; (A) suhu terlalu dingin, (B) suhu terlalu panas, (C) suhu menyenangkan.
Anak itik yang baru di beli dari Poulty Shop atau dari tempat yang cukup jauh, setelah dimasukkan dalam pelingkar tadi jangan tergesa-gesa diberi makan. Akan tetapi diberikan dahulu minuman segar, baik berupa susu kental manis atau air campur gula. Hal ini untuk menghindari “stress” karena perpindahan tempat. Setelah lebih kurang 1 jam, itik diberi makan sedikit demi sedikit tetapi sering agar makanan tidak terbuang dan diacak-acak.
Setelah 1 minggu pertama, berilah air segar yang dicampur “antibiotika” dan “vitamin”. Hal ini untuk merangsang nafsu makan dan pertumbuhan yang seragam, juga untuk menghindari kepekaan terhdap gangguan penyakit selama pemeliharaan.
V.2. Pemeliharaan Itik Masa Pertumbuhan (5 – 22 minggu)
Itik pada masa pertumbuhan tidak dipelihara dalam pelingkar lagi tapi sudah menyebar ke seluruh ruangan kandang yang sudah diberi alas litter (kulit padi, jerami kering, serbuk gergaji, dll). Penggunan pasir dan kapur sebagai campuran alas lantai kandang sangat dianjurkan karena pasir tidak mudah menggumpal dan mampu menyerap air (basah).
Kapur juaga berfungsi meredakan kadar amoniak yang disebabkan oleh kotoran itik. Campiran pasir, kapur, kulit padi, atau yang lainnya dengan per-bandingan 1 : 2 : 5, dan tebal minimal 20 cm. Seminggu sekali handaknya alas lantai kadang diaduk-aduk supaya bagian-bagian yang basah tidak memusat disatu tempat. Akan lebih baik lagi kalau ditaburi kulit padi yang dicampur kapur, sehingga kesehatan lantai kandang lebih terjamin.
Sebaiknya kandang itik hanya digunakan pada malam hari. Siang hari itik dikeluarkan dari kandang agar bisa bermain dikolam. Agar kandang tidak terlalu padat dan itik merasa nyaman, perbandingan luas kandang dan jumlah itik adalah 1 meter persegi untuk 6–7 ekor itik.
Kolam air untuk itik masa pertumbuhan, sebaiknya per meter persegi untuk 12 ekor itik, Kolam air jangan terlalu dalam agar itik tidak terlalu banyak membuang energi.
Pemberian makanan intuk itik masa pertumbuhan hendaknya mulai diatur dan dibatasi. Hal ini sangat menyangkut evesiensi penggunaan makanan dan kontrol berat tunbuh. Kontrol berat tubuh itik dalam masa pertumbuhan hendaknya dilakukan setiap minggu. Caranya adalah mengambil beberapa ekor itik secara acak dan menimbangnya, kemudian berat seluruhnya dibagi jumlah itik. Berat rata-rata
©2004 Digitized by USU digital library 8
©2004 Digitized by USU digital library 9
dapat dijadikan acuan untuk mengontrol berat tunuh itik masa pertumbuhan. Bila berat rata-rata terlalu besar selisihnya dengan barat rata-rata kelompok lain, pemberian makanan hendaknya di kontrol lebih cermat lagi. Bila itik terlalu kurus, berilah makanan melebihi jatah biasanya selama 2-3 hari, bila itik terlalu gemuk tambahkan jumlah makanan yang banyak mengandung serat kasar, seperti bekatul tanpa mengurangi konversi ransum yang dikonsumsi.
Berat standar tubuh itik pada usia 20 minggu adalah 1.350-1.400 kg. Usahakan mencapai berat standar tersebut agar itik tidak terlambat mencapai masa bertelur.
Itik yang mempunyai berat rubuh kurang atau lebih dari berat standar umumnya tidak bertelur tepat pada waktunya. Biasanya terlambat karena majir atau kegemukan.
V.3. Pemeliharan Itik masa Produksi (> 22 minggu)
Mulai usia 23 minggu, itik akan mulai bertelur. Jadi didalam kandang perlu disediakan sarang untuk bertelur. Sarang telur dibuat dengan ukuran 40x40x30 cm, dengan kapasitas persarang untuk 6 ekor itik.
Sarang diisi kulit padi supya lunak dan tidak merusak telur. Itik sebaiknya menempati kandang yang sama sampai mengakhiri produksi telurnya karena itik terlalu peka dan mudah stress bila berpindah - pindah kandang.
Selama masa produksi telur sebaiknya itik jangan dikeluarkan dari kandang sebelum pukul 09.00 pagi karena itik biasanya bertelur dini hari, sekitar pukul 03.00 pagi. Adakalanya telur yang belum sempat dikeluarkan dini hari, akan keluar sampai pukul 09.00 pagi.
Pemberian makanan secara teratur dapat menjaga keseimbangan konversi ransum dan produk telur. Makanan sebaiknya diberikan dua kali sehari dalam bentuk setengah basah. Makanan pertama diberikan pukul 09.00 pagi, dan yang kedua kali pukul 13.00 siang, sehingga pada sore hari makanan yang diberikan tidak tersisa. Jangan mengurangi jatah makanan jika itik mengalami gangguan kesehatan supaya berat standar dan tingkat produksi selalu seimbang.
Pada umumnya itik yang mampu berproduksi telur tidak bertelur di sarang yang sudah disediakan. Jika hal ini terjadi, kita harus melatih itik dengan menempatkan telur di sarang. Secara naluriah itik akan menirudan bertelur di sarangnya.
Pemberian grit yang mengandung Calsium dan Fosfor sangat penting, apalagi untuk itik yang sedang giat berproduksi telur. Itik lebih banyak membutukkan Calsium dan Fosfor dari pada ayam untuk pembentukan kulit telur. Apalagi itik mengalami kekurangan Calsium dan Fosfor dari makanannya, itik akan mengalami kelumpuhan.
Itik telur yang dipelihara secara intensip memiliki kemampuan produksi telur sampai usia 74 minggu. Tetapi apabila pemeliharaannya cukup baik, bisa dipertahan-kan sampai usia 144 minggu (setelah mengalami 3 kali rontok bulu).
V.4. Pemeliharaan Itik Masa Rontok Bulu
Itik mengalami rontok bulu (moulting) setelah memproduksi telur selama 9–12 bulan, dan pada saat itu selama 2–3 bulan itik akan istirahat, tidak memproduksi telur.
©2004 Digitized by USU digital library 10
Rontok bulu adalah proses terlepasnya bulu yang kemudian diikuti tumbuhnya bulu–bulu baru sebagai pengganti bulu lama. Kejadian rontok bulu pada unggas, merupakan suatu peristiwa alami, bukan disebabkan oleh penyakit.
Dalam masa rontok bulu dan pertumbuhan bulu baru, itik juga memperbaiki kondisi tubuhnya dan memberi kesempatan pada alat reproduksinya untuk istirahat dan bersiap – siap memasuki masa produksi berikutnya. Bila bulu–bulu baru sudah sempurna, itik akan bertelur lagi seperti sediakala.
Kebutuhan Pakan Itik Masa Rontok Bulu per ekor per hari
Priode
Jumlah Pakan
Priode
Jumlah Pakan
Minggu 1
Minggu 2
Minggu 3
Minggu 4
Minggu 5
Minggu 6
74 gr
74 gr
76 gr
78 gr
78 gr
80 gr
Minggu 7
Minggu 8
Minggu 9
Minggu 10
Minggu 11
Minggu 12
80 gr
90 gr
90 gr
95 gr
100 gr
110 gr
Catatan : Minggu 1 – 10 menggunakan pakan masa pertumbuhan (dara) minggu 11 dst. Menggunakan pakan masa bertelur.
V.5. Penerangan Cahaya lampu Untuk Itik
Penerangan cahaya lampu untuk itik yang sedang produksi sangat penting artinya terutama pada malam hari untuk meningkatkan keseimbangan penyerapan vitamin D. Dengan penerangan yang mencukupi, kedewasaan kelamin dan kantong telur, kandungan telur dan pembentukan kulit telur bisa berlangsung sempurna dan keseimbangan kebutuhan akan calsium dan vitamin D terpenuhi.
Selain itu cahaya lampu juga sanggup memberi daya rangsang kelenjar yang bertugas membentuk hormon yang merangsang syaraf mata untuk mempertinggi produksi telur.
Syarat–syarat untuk penggunaan lampu penerang untuk itik :
1. Intensitas cahaya penerangan lampu paling sedikit 15 watt untuk 10 meter persegi, bagi itik menjelang produksi.
2. Untuk itik pada masa produksi (bertelur) intensitas cahaya penerangan lampu paling sedikit 30 watt untuk 10 meter persegi.
3. Pada umur 20–23 minggu, Pemberian cahaya lampu mulai pukul 18.00 sampai dengan pukul 19.00 Wib.
4. Pada umur 24-27 minggu, pemberian cahaya lampu mulai pukul 18.00 sampai dengan pukul 21.00 Wib.
5. Pada umur 28 minggu ke atas, pemberian cahaya lampu mulai pukul 18.00 sampai dengan 23.00 Wib.
©2004 Digitized by USU digital library 11
VI. Penyakit dan Pengendalian Penyakit Ternak Itik
Pencegahan (pengendalian) penyakit adalah salah satu kewajiban yang tak terhindarkan apabila usaha ternak itik diharapkan memberi keuntungan. Berbagai cara pengendalian dilakukan antara lain pemeliharaan kesehatan dan kebersihan lingkungan peternakan maupun vaksinasi terhadap penyakit tertentu yang sulit diobati.
Penyakit itik pada dasarnya terbagi dua yaitu :
1. Penyakit tidak menular
2. Penyakit menular
VI. 1. Penyakit Tidak Menular
Penyakit ini disebabkan oleh buruknya tata laksana pemeliharaan, seperti keracunan, pemeliharaan kesehataan dan kebersihaan yang buruk, kekurangan vitamin dan mineral, dll.
1. Strees (Cekaman)
Steres atau cekaman pada itik bisa disebabkan oleh berbagai faktor pengganggu yang secara langsung mempengaruhi fisiologi tubuh itik, misalnya; kebisingan, kurang kebebasan bermain dekat air, berpindah tempat, pertukaran pakan dan lain – lain.
Obat untuk menanggulangi “stress” tidak ada. Yang dapat dilakukan peternak adalah menghindari segala gangguan yang mungkin menimbulkan “stress” dengan cara memelihara lingkungan dan menjaga kebersihan lingkungan peternakan.
2. Kekurangan (defisiensi) Vitamin A
Makanan (pakan) yang tidak cukup mengandung vitamin A dapat menyebab-kan kekurangan vitamin A pada itik dan akhirnya mengganggu pertumbuhan. Itik akan tampak selalu mengantuk, kondisi kaki lemah, mata tertimbun lendir warna putih dan mudah terkena infeksi.
Pada anak itik umur sekitar 4 minggu yang kekurangan vitamin A terlihat selaput matanya menebal dan kering, air mata keluar berlebihan, bagian bawah mata tertimbun cairan lendir. Sedang pada itik dewasa, kekurangan vitamin A mengakibat-kan penurunan produksi telur, tubuh mengurus dan lemah.
Jagung kuning merupakan sumber vitamin A yang sangat diperlukan dalam komposisi pakan itik. Penyakit kekurangan vitamin A umumnya terjadi karena peternak mengganti jagung kuning dengan jagung putih yang miskin vitamin A.
3. Brooder Pneumonia
Penyakit Brooder Pneumonia umumnya menyerang anak itik yang masih memiliki bulu-bulu halus. Penyakit ini disebabkan oleh karena kotak atau pelingkar triplek terlalu padat, lampu pemanas untuk induk buatan kurang panas sehingga anak itik kedinginanan merasa pengap.
Tanda-tanda anak itik terserang penyakit ini adalah pembengkakan di kepala, pernafasan terlihat sulit dan mata selalu mengeluarkan air. Pencegahan terhdap penyakit ini pada anak itik dapat dilakukan dengan mengontrol kapasitas kotak atau pelingkar dan mengontrol panas induk buatan.
Pengobatan dapat dilakukan dengan pemberian satu sendok teh baking soda dalam satu quart (1,136 liter) air minum selama 12 jam untuk mengurangi penyebaran penyakit.
©2004 Digitized by USU digital library 12
4. Rickets Duck
Kekurangan vitamin D yang disertai kekurangan mineral Calsium dan Fosfor menimbulkan penyakit tulang yang menyebabkan kelumpuhan pada itik. Penyakit ini biasanya dinamakan “Rickets duck”. Itik yang terserang penyakit ini mengalami penyimpangan dan kelainan pada persendian kakinya.
Pencegahan hanya bisa dengan memberikan pakan yang cukup mengundang minural Calsium, Fosfor dan vitamin D. Ke dalam ransum (pakan) itik harus ditambahkan 2 % tepung tulang dan itik harus mendapat sinar matahari langsung.
5. Antibiotika Dermatitis
Penyakit ini terjadi pada itik karena penggunaan obat-obatan yang mengandung antibiotika secara berlebihan. Akibatnya kulit itik menjadi kering, bulu rontok dan mudah patah, itik selalu gelisa karena gatal-gatal pada kulitnya. Pencegahaan terhadap penyakit ini adalah dengan menggunakan antibiotika seperlunya.
Penghentian pemberian antibiotika serta pemberian “laxative” (obat pencahar) ringan seperti “molasses” dapat memulihkan kondisi ternak itik yang menderita dalam 4-6 hari.
6. Mycosis
Penyakit “Mycosis” pada itik terjadi karena itik secara sengaja atau tak sengaja mengkonsumsi pakan yang sudah basi atau jamur yang tumbuh di lantai (litter) kandang itik.
Itik yang keracunan jamur terlihat lesu, nafsu makan berkurang dan dalam beberapa hari berat badan merosot tajam. Bila tidak diketahui, itik akan mati dalam waktu seminggu.
Pencegahaan hanya bisa dilakukan dengan pemeliharaan kesehatan dan kebersihan kandang yang baik. Lantai (litter) kandang secara berkala dijemur, diusahakan tidak lembab dan diberi kapur, terutama dimusim penghujan.
Pengobatan penyakit Mycosis karena jamur bisa dilakukan dengan memberi antibiotika yang dicampurkan kedalam air minum atau pakan itik.
7. Botulism (Limberneck)
Penyakit Botulism pada umumnya terjadi karena itik makan bangkai. Misalnya pemberian makanan daging bekicot yang sudah layu. Bangkai yang sudah berulat mengandung kuman yang berbahaya yaitu “Clastrididium Botulinium”. Kuman tersebut memproduksi racun.
Tanda – tanda itik yang terserang penyakit ini adalah leher itik seperti tidak bertulang, tidak tegag atau lunglai setelah itik memakan bangkai 1 – 3 hari. Beberapa jam kemudian setelah leher lunglai mengakibatkan kematian.
Pencegahan dilakukan dengan memelihara kesehatan lingkungan yang baik dan tidak memberi pakan yang sudah basi (bangkai). Bila masih mungkin ternak itik yang sakit dapat diberikan obat–obatan pencahar agar itik menceret dan kuman beserta racunnya dapat ikut keluar dari saluran pencernan.
Pengobatan secara tradisional yang dapat membantu menyembuhkan yaitu dengan memberi : minyak kelapa satu sendok makan dan air minum yang bersih. Minyak kelapa yang menbuat itik hausdan ingin minum sebanyak–banyaknya. Jika itik banyak minum, racun dalam darah itik akan encer dan daya kerjanya berkurang, dengan demikian angka kematian akan menurun.
©2004 Digitized by USU digital library 13
8. Keracunan Garam
Penyakit keracunan garam umumnya terjdi bila air itik atau air kolam mengandung kadar garam yang tinggi, juga bils bahan baku pakan tertentu berkadar garam tinggi. Keracunan garam pada itik lebih sering terjdi di lokasi peternakan dekat pantai / tambak yang airnya tercemar garam.
Ternak itik tidak begitu tahan terhadap garam yang berlebihan, konsentrasi 2% saja dalam ransum (pakan) atau 4.000 ppm dalam air minum dapat menimbulkan kematian.
VI. 2. Penyakit Menular
Penyakit menular pada itik merupakan penyakit yang disebabkan oleh ; virus, bakteri atau kuman yang bisa ditularkan melalui kontak langsung atau lewat udara.
1. Fowl Cholera (kolera itik)
Penyakit ini disebabkan oleh bakteri “Pasteurella Avicia”. Kandang yang basah serta lembab mempercepat penularan. Penyakit yang menyerang anak itik umur 4 minggu dapat menimbulkan kematian sampai 50%, sedang pada itik dewasa menimbulkan kematian kurang dari 50%.
Gejala penyakit ini adalah : sesak nafas, pial bengkak, dan panas, jalan sempoyongan. Itik yang terserang penyakit kolera yang akut akan meratap dan mengeluarkan suara yang nyaring dan keluar dari kelompoknya.
Keganasan penyakit ini dapat menyebabkan infeksi darah, dan itik akan matii secara mendadak.
Pencegahan dapat dilakukan dengan vaksinasi Fowl Cholera. Pengobatan bagi itik yang terserang pada tingkat awal dapat digunakan obat Choramphenicol, Tetracycline atau Preparat-preparat Sulfat.
2. Fowl Pox (Cacar)
Penyakit cacar ini menyerang itik semua umur yang disebabkan oleh virus. Tanda-tanda penyakit ini adalah dengan munculnya benjolan-benjolan pada bagian badan itik yang tidak tertutup bulu sepertikaki dan kepala. Penyakit cacar basah menyerang rongga mulut dalam bentuk “diptherie” dan kematian terjadi karena itik kesulitan makan dan minum.
Pencegahan dapat dilakukan dengan cara vaksinasi yang disuntukan dibalik sayap itik. Pengobatan cacar kering berupa benjolan-benjolan dapat dilakukan dengan jalan mengelupasi benjolan-benjolan itu sampai berdarah kemudian mengolesinya dengan yodium tingture (6-10 %).
3. White Eye (Mata Memutih)
Penyakit yang diduga disebabkan oleh virus ini menyerang itik segala umur dan yang paling peka adalah itik umur kurang dari 2 bulan. Biasanya itik yang kurang vitamin A mudah terserang penyakit ini. Kandang yang lembab dan lantai (litter) yang basah juga memudahkan itik terserang penyakit ini.
Tanda-tanda anak itik yang terserang penyakit ini adalah : cairan putih bening keluar dari mata dan paruh, kotoran yang bening dalam beberapa jam berubah menjadi kekuning-kuningan, itik sulit bernafas, lemah dan akhirnya lumpuh. Bila sampai kejang-kejang, kematian tak bisa dihindari.
Pencegahan dan pengobatan bisa dilakukan dengan antibiotika yang dicampur kedalam air minum atau pakan. Antibiotika yang sering digunakan adalah Oxytetracycline (terramycin) atau Chlortetracycline (aureomycin) dengan dosis 10
©2004 Digitized by USU digital library 14
gram per 100 kg pakan atau 10 gram dalam 40 gallon air minum akan membantu mengontrol penyakit White Eye.
3. Coccidiosis
Coccdiosis adalah penyakit berak darah yang juga menyarang itik. Gejala itik yang diserangpenyakit ini adalah kurang nafsu makan, berat badan menurun drastis dan akhirnya lumpuh. Penularan melalui kotoran itik yang membawa coccidia dan terjadi relatif cepat pada itik segala umur, tetapi yang banyak terserang adalah pada anak itik.
Untuk pencegahan dan atau pengobatan penyakit C0ccidiosis dapat dipakai obat-obatan seperti : “furazolidone, nitrofurazone atau nicardbazin”. Obat-obatan tersebut dicampurkan kedalam pakan itik atau dilaturkan kedalam air minum. Untuk membantu kontrol penyakit Coccidiosis, berikan vitamin A dengan konsentrasi tinggi.
4. Coryza
Penyakit Coryza disebut juga penyakit pilek menular. Penyebabnya adalah semacam microorganisme. Penyakit ini biasanya terjadi pada awal pergantian musim. Penularannya sangat cepat, melalui kontak langsung antara itik yang sakit dengan itik yang sehat.
Tanda-tanda itik yang terserang penyakit pilek menular ini adalah keluarnya kotoran cair kental dari mata. Jadi penyakit ini mirip dengan penyakit White Eye. Anak itik berumur 1 minggu sampai 2 bulan merupkan yang paling sering menderita. Akan tetapi itik dewasa pun dapat pula terserang wabah penyakit Coryza ini.
Pengobatan yang paling efesien adalah dengan menyuntikan “Streptomycin Sulphat” secara individual dengan disis 0,4 gram rendah dengan patokan berat badannya. Penyuntikan dapat diulang sekali dalam sehari untuk selama beberapa hari, dengan dosis Streptomycin setengah dari dosis diatas.
5. Salmonellosis
Penyakit Salmonellosis menyerang itik segala umur dan dapat menyebabkan angkan kematian sampai 50%. Penyebabnya adalah kuman “Salmonella Anatis”, melalui perantaraan lalat atau makanan atau minuman yang tercemar kuman tersebut.
Tanda-tanda itik yang terserang penyakit ini adalah : keluarnya kotoran dari mata dan hidung dan menceret. Itik yang bisa sembuh sendiri cukup berbahaya cukup berbahaya sebagai sumber penyakit, maka sebaiknya disingkirkan saja.
Pencegahan hanya bisa dilakukan dengan menjaga kesehatan dan kebersihan. Secara berkala dilakukan pembersihan kandang agar kandang bebas dari kuman Salmonella. Pengobatan dapat dilakukan dengan memberikan “Furazolidone”.
6. Sinusitis
Penyakit Sinusitis menyerang itik dewasa sehingga menyebabkan kerugian yang tidak sedikit. Penyakit ini dikarenakan tata laksana pemeliharaan yang buruk, kekurangan mineral dalam pakannya dan tidak tersedianya kolam untuk bermain. Akibatnya itik menjadi renta mendapat infeksi sekunder.
Tanda-tanda itik yang terserang penyakit ini adalah : terjadi pembengkakan sinus, dari lubang hidung keluar cairan jernih, sekresi mata menjadi berbuih, sinus yang membengkak menimbulkan benjolan di bawah dan di depan mata.
Pencegahan hanya bisa dilakukan dengan tata laksana pemeliharaan yang baik. Pengobatan bagi itik yang sakit ada;lah disuntuk dengan antibiotika (strepto-mycin) ke dalam sinus yang menderita. Dosis pada itik dewasa adalah sebanyak 0,5 gram streptomycin yang dilarutkan ke dalam 20 cc aquadest. Larutan ini disuntikan
©2004 Digitized by USU digital library 15
ke dalam sinus. Untuk pengobatan yang lebih muda, dosisnya dikurangi. Pengobatan seperti ini dilakukan sekali dalam 48 jam sampai sembuh.
7. Aflatoksikosis
Aflatoksikosis yang menyerang itik pada umumnya disebabkan oleh “Aflatoksin” yang dihasilkan oleh “Asperqillus Flavus”. Aflatoksin menyerang hati, sehingga itik yang terserang penyakit ini hatinya membesar.
Tanda-tanda itik yang terserang penyakit ini adalah : kondisi sangat lemah, terjadi pendarahan di bawah kulit kaki dan jari, terhuyung-huyung, akhirnya mati dalam posisi terlentang. Anak itik lebih muda terserang penyakit ini dibanding itik dewasa.
Pencegahan bisa dilakukan dengan pemeliharaan kebersihan lingkungan kandang, penaburan kapur di lantai kandang, pembersihan kandang agar bebas dari serangga. Pengobatan hanya bisa diusahakan dengan memberikan anti biotika yang dicampurkan dalam air minum atau pakannya.
VII. Daftar Pustaka
1. Amarullah, I. K. 2003. Nutrisi Ayam Broiler. Lembaga Satu Gunung Budi. Bogor.
2. Murtidjo, Bambang Agus. 1992. Mengelola Itik. Penerbit Kanisius, Jakarta.
3. Samosir, D. J. 1983. Ilmu Ternak Itik. Penerbit P.T. Gramedia, Jakarta.
4. Shane S. M. 1998. Buku Pedoman Penyakit Unggas. American Soybean Association. Singapore.

PEMODELAN DAN OPTIMASI HIDROLISA PATI MENJADI GLUKOSA DENGAN METODE ARTIFICIAL NEURAL NETWORK-GENETIC ALGORITHM (ANN-GA)

SKRIPSI
PEMODELAN DAN OPTIMASI HIDROLISA PATI
MENJADI GLUKOSA DENGAN METODE ARTIFICIAL NEURAL NETWORK-GENETIC ALGORITHM (ANN-GA)
Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan tugas akhir guna memperoleh gelar Sarjana Teknik
Oleh:
Dian Rahmayanti L2C 308 009
JURUSAN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2010
Halaman Pengesahan
Skripsi
Nama / NIM : Dian Rahmayanti / L2C 308 009
Judul Peneltian : Pemodelan dan Optimasi Hidrolisa Pati mejadi Glukosa dengan Metode Artificial Neural Network – Genetic Algorithm (ANN-GA)
Dosen Pembimbing : Dr. Istadi, ST, MT
Semarang, Januari 2010
Telah menyetujui
Dosen Pembimbing,
Dr. Istadi, ST, MT
NIP. 19710301 199702 1 001
Ringkasan
Metode pemodelan dan optimasi yang umumnya digunakan, masih belum mampu untuk memodelkan dan mengoptimasi dari proses-proses kimia nonlinear yang kompleks. Metode hibrida Artificial Neural Network-Genetic Algorithm (ANN-GA) adalah penggabungan pemodelan Artificial Neural Network (ANN) dan optimasi dengan Genetic Algorithm (GA) yang bekerja secara simultan. ANN-GA dinilai efektif untuk menyelesaikan permasalahan tersebut dan mendapatkan kondisi optimum secara global. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan permodelan dan optimasi dengan metode hibrida ANN-GA, yang diterapkan pada kasus hidrolisa pati menjadi glukosa. Hibrida ANN-GA dilakukan dengan dua langkah utama. Langkah awal dari hibrida ini adalah mengembangkan pemodelan proses dengan ANN. Selanjutnya, input pada model ANN dioptimasi dengan menggunakan teknik GA, sehingga didapatkan respon atau output yang optimal dari proses. Data variabel yang digunakan berasal dari penelitian Baskar et al. (2008), yang menghidrolisa pati menjadi glukosa secara enzimatik. Variabel bebas yang digunakan adalah konsentrasi pati, konsentrai enzim, suhu, dan waktu hidrolisa, dimana yield glukosa dimodelkan dan dioptimasi sebagai fungsi dari keempat variabel bebas tersebut menggunakan metode ANN-GA. Kondisi optimum yang dicapai dengan metode ANN-GA adalah pada konsentrasi pati 7,1302 % (w/v), konsentrasi enzim 1,4708 %(w/v), suhu 40,5250ºC, dan waktu hidrolisa 166,0374 menit dengan yield glukosa yang dihasilkan sebesar 6,0842 mg/mL. Hasil ini berbeda dengan data sekunder (Baskar et al., 2008) yang menggunakan metode pemodelan dan optimasi dengan RSM. Hal ini dikarenakan perbedaan nilai koefisien regresi, R2, yang dicapai dari kedua metode ini. Metode ANN-GA mampu mencapai nilai R2 sebesar 0,9755, yang berarti bahwa 97,55% dari variabel yield glukosa terwakili dalam model. Sedangkan metode RSM hanya mampu mencapai nilai R2 sebesar 0,824. ANN lebih akurat dan general dalam memodelkan dibandingkan dengan RSM, dan GA mampu menghasilkan kondisi optimum secara global. Pemodelan dan optimasi dengan metode ANN-GA dapat dikembangkan dan digunakan untuk memodelkan dari proses-proses kompleks hidrolisa pati menjadi glukosa, serta mendapatkan kondisi operasi yang optimal.
Summary
Modeling and optimization methods are commonly used, still not able to model and optimize the complex chemical processes non-linear. Hybrid method of Artificial Neural Network-Genetic Algorithm (ANN-GA) is a combination of modeling Artificial Neural Network (ANN) and optimization with Genetic Algorithm (GA) that works simultaneously. The ANN-GA is considered as an effective method for resolving these problems and obtain optimum conditions globally. The aim of this study is to develop a modeling and optimization with ANN-GA hybrid methods, which applied in process of making glucose from starch hydrolysis. The ANN-GA stategy consists of two steps. In the first step, an ANN-based prosess model is developed. Therefore, the input at ANN model will be optimized using GA technique. Variables data that will be used are secondary data research from Baskar et al. (2008). The independent variables are starch concentration, temperature, time and enzyme concentration. The yield of glucose was modeled and optimized as a function of four independent variables using ANN-GA. The optimal values of starch concentration, enzyme concentration, temperature and time with ANN-GA method were 7.1302 % (w/v), 1.4708 %(w/v), 40.5250ºC, and 166.0374 min respectively with predicted glucose yield of 6.0842 mg/mL. These result differed from the secondary data (Baskar et al., 2008) which were used modeling and optimization methods with RSM. This is due to differences in the value of regression coefficient, R2, which is achieved from both methods. The R2 values of ANN-GA method was 0.9755, which means that 97.55% glucose yield variables are represented in the model. While RSM method was only able to achieved value of R2 for 0.842. Since ANN is more accurate and more generalized model than RSM, it is better equipped to reach the global optimum. Modeling and optimization with ANN-GA method can be developed and used to obtain the model in starch hydrolysis into glucose and the optimal operating conditions simultaneouosly.
Prakata
Puji syukur atas limpahan rahmat, hidayah dan karunia Allah SWT, sehingga penyusun dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “PEMODELAN DAN OPTIMASI HIDROLISA PATI MENJADI GLUKOSA DENGAN METODE ARTIFICIAL NEURAL NETWORK-GENETIC ALGORITHM (ANN-GA)”.
Pada kesempatan ini penyusun mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Dr. Ir. Abdullah, MS, selaku Ketua Jurusan Teknik Kimia Universitas Diponegoro.
2. Bapak Dr. Ir. Didi Dwi Anggoro, M.Eng, selaku Ketua Koordinator Penelitian.
3. Bapak Dr. Istadi, ST, MT, selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, pengajaran, motivasi dan saran dalam penyusunan skripsi ini. Terimakasih atas bantuannya.
4. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini, semoga Allah SWT membalasnya.
Dalam penulisan skripsi ini, masih terdapat kekurangan dan keterbatasan akibat keterbatasan dari penulis. Oleh karenanya saran dan masukan dari pembaca sekiranya dapat memperkecil dan mengurangi kesalahan yang terdapat dalam skripsi ini. Penyusun berharap skripsi ini bisa mendekati sempurna.
Akhirnya penyusun berharap semoga skripsi ini bisa berguna bagi pembaca dan bisa dimanfaatkan sesuai dengan kapasitasnya.
Semarang, Januari 2010
Penyusun
Daftar Isi
Halaman Judul ................................................................................................................... i
Halaman Pengesahan ......................................................................................................... ii
Ringkasan ......................................................................................................................... iii
Summary ......................................................................................................................... iv
Prakata ........................................................................................................................ v
Daftar Isi ...................................................................................................... .................. vi
Daftar Tabel .................................................................................................... .................. viii
Daftar Gambar ................................................................................................ .................. ix
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2 Perumusan Masalah ................................................................................... 2
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................................. 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ubi Kayu (Singkong) ........................................................... .................. 4
2.2 Pati atau Amilum ................................................................. .................. 4
2.3 Hidrolisa Pati .......................................................................................... 5
2.4 Glukosa ................................................................................ .................. 8
2.5 Overview Penelitian Teknologi Hidrolisa Pati .................... .................. 8
2.6 Pemodelan dan Optimasi dengan metode Hibrida Artificial
Neural Network-Genetic Algorithm (ANN-GA) ................. .................. 11
2.6.1 Pemodelan Artificial Neural Network (ANN) ............................... 11
2.6.2 Optimasi Proses dengan metode Genetic Algorithm
(GA) ............................................................................................... 14
2.6.3 Algorithma Hibrida ANN-GA ....................................................... 17
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Hidrolisa Pati menjadi Glukosa ............................................................. 19
3.2 Rancangan Pemodelan dan Optimasi .................................................... 19
3.2.1 Pengembangan Algoritma Pemodelan dengan ANN ...................... 19
3.2.2 Pengembangan Algorithma Hibrida ANN-GA untuk Pemodelan dan Optimasi ............................................................... 20
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Pengujian Model dan Optimasi ANN-GA............................................... 23
4.2 Kajian Numerik Model dan Optimasi ANN-GA .................................... 25
4.3 Simulasi dan Optimasi Pengaruh Konsentrasi Pati dan
Konsentrasi Enzim terhadap Yield Glukosa ............................................ 27
4.4 Simulasi dan Optimasi Pengaruh Konsentrasi Pati dan
Suhu terhadap Yield Glukosa .................................................................. 29
4.5 Simulasi dan Optimasi Pengaruh Konsentrasi Pati dan
Waktu terhadap Yield Glukosa ................................................................ 30
4.6 Simulasi dan Optimasi Pengaruh Konsentrasi Enzim dan
Suhu terhadap Yield Glukosa .................................................................. 31
4.7 Simulasi dan Optimasi Pengaruh Konsentrasi Enzim dan
Waktu terhadap Yield Glukosa ................................................................ 32
4.8 Simulasi dan Optimasi Pengaruh Suhu dan Waktu terhadap
Yield Glukosa .......................................................................................... 33
4.9 Uji Kestabilan Simulator dan Optimasi Kondisi Operasi ........................ 34
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan ............................................................................................. 36
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
Daftar Tabel
Tabel 2.1 Komposisi ubi kayu ......................................................................................... 4
Tabel 2.2 Komposisi pati ubi kayu .................................................................................. 5
Table 2.3 Syarat mutu sirup glukosa ............................................................................... 8
Table 2.4 Beberapa penelitian tentang hidolisa pati ........................................................ 9
Table 4.1 Hubungan antara konsentrasi pati, konsentrasi enzim, suhu, waktu
terhadap yield glukosa (Baskar et al., 2008) .................................................... 26
Table 4.2 Parameter operasi yang digunakan dalam hidrolisa pati menjadi glukosa ....... 27
Table 4.3 Parameter komputasi yang digunakan dalam optimasi dengan GA ............... 27
Table 4.4 Randomnes metode ANN-GA (R2 ≥ 0.96) terhadap metode RSM ............... 35
Daftar Gambar
Gambar 2.1 Rumus bangun karbohidrat .......................................................................... 5
Gambar 2.2 Rumus bangun amilosa ................................................................................ 5
Gambar 2.3 Rumus bangun amilopektin ......................................................................... 5
Gambar 2.4 Reaksi pembentukan glukosa ...................................................................... 6
Gambar 2.5 Skema pembuatan sirup glukosa dengan hidrolisa pati ............................... 7
Gambar 2.6 Rumus bangun glukosa ................................................................................ 8
Gambar 2.7 Prinsip dasar ANN ....................................................................................... 12
Gambar 2.8 Diagram skematik multi-layered percepton (MLP) dengan aliran searah ........................................................................................... . ............. 12
Gambar 3.1 Diagram alir pemodelan dengan metode ANN ............................ .............. 19
Gambar 3.2 Diagram alir pemodela dan optimasi dengan hibrida ANN-GA .. .............. 22
Gambar 4.1 Grafik pengujian model dan optimasi dengan ANN-GA ............. .............. 24
Gambar 4.2 Fitness value dan current best individual dengan metode
Optimasi GA .............................................................................. ................. 24
Gambar 4.3 Karakteristik model ANN .......................................................... ................. 25
Gambar 4.4 Pengaruh konsentrasi pati dan konsentrasi enzim terhadap yield
glukosa ........................................................................................ ................. 28
Gambar 4.5 Pengaruh konsentrasi pati dan suhu terhadap yield glukosa ...... ................. 30
Gambar 4.6 Pengaruh konsentrasi pati dan waktu terhadap yield glukosa .... ................. 31
Gambar 4.7 Pengaruh konsentrasi enzim dan suhu terhadap yield glukosa ... ................. 32
Gambar 4.8 Pengaruh konsentrasi enzim dan waktu terhadap yield glukosa ................. 33
Gambar 4.9 Pengaruh suhu dan waktu terhadap yield glukosa ..................... ................. 34
Gambar 4.10 Perbedaan yield glukosa yang dihasilkan dengan metode
ANN-GA (R2 ≥ 0.96) dengan metode RSM .............................. ................. 35
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pati atau amilum merupakan karbohidrat kompleks yang dihasilkan oleh tumbuhan, dimana didalamnya terkandung kelebihan glukosa (sebagai produk fotosintesis). Ubi kayu atau sering disebut dengan singkong, mengandung karbohidrat yang cukup tinggi, sehingga dapat digunakan sebagai bahan dasar dalam pembuatan glukosa melalui proses hidrolisa pati. Hidrolisa pati merupakan proses pemecahan molekul amilum menjadi bagian-bagian penyusunnya yang lebih sederhana, seperti glukosa (Purba, 2009).
Pemodelan untuk proses kimia dapat dilakukan dengan pendekatan phenemenological (first principles) atau dengan pendekatan empirical (Istadi, 2006). Umumnya, permodelan untuk proses dikembangkan dengan menggunakan pendekatan phenemenological, dimana perpindahan massa, momentum, energi, dan beberapa prinsip teknik kimia lainnya dipertimbangkan dalam model. Dalam memenuhi persyaratan tersebut, terdapat rintangan yang harus diketahui yaitu pengertian yang cukup tentang kinetik dan fenomena perpindahan yang mendasari proses katalitik dan lama, mahal, dan banyaknya percobaan yang dibutuhkan untuk memenuhi data proses yang disyaratkan (Nandi et al., 2002). Pengembangan dari permodelan proses dengan phenemenological memiliki banyak kesulitan dalam prakteknya. Oleh karena itu, diperlukan mencari pendekatan alternatif dari pemodelan proses ini.
Akhir-akhir ini, Artificial Neural Network (ANN) telah muncul sebagai alat yang menarik untuk pemodelan proses yang kompleks. Kekuatan dari ANN adalah struktur yang umum dan memiliki kemampuan untuk mempelajari dari data historikalnya (Desai et al., 2008). Konsep ANN yang digunakan secara luas adalah Multi-Layered Perceptron (MLP), yang memperkirakan hubungan nonlinier yang ada antara data input (casual process variable) dan data output yang cocok (dependent variables). ANN atau MLP terdiri dari input, hidden, dan output layers.
Dalam beberapa tahun terakhir, Genetic Algorithm (GA) termasuk kelompok optimasi stochastic, yang telah digunakan untuk menyelesaikan persoalan dengan baik dalam berbagai ruang lingkup. GA dikembangkan sebagai model Genetic Algorithm dengan meniru evolusi populasi dari sistem alamiah. Kelebihan GA dibandingakan optimasi dengan metode diferensial adalah GA dapat digunakan untuk menentukan kondisi optimum tanpa perlu
mendiferensialkan data terlebih dahulu. Sehingga untuk data yang sangat kompleks, optimasinya dapat diselesaikan dengan mudah. Metode diferensial tidak bisa digunakan bila data persamaan yang didapat adalah data yang kompleks, karena barangkali hanya diperoleh titik optimum lokal saja bukan titik optimum yang global.
Beberapa penelitian tentang proses hidrolisa pati menjadi glukosa telah banyak dilakukan. Pada proses hidrolisa pati secara enzimatik (Baskar, 2008; Chamsart et al.,2006; Morales et al., 2008; Wojciechowski et al., 2002), proses hidrolisa pati secara asam (Putri dan Sukandar, 2008; Soeroso et al., 2008; Yoonan dan Kongkiattikajorn, 2004), dan proses hidrolisa asam dan enzimatik (Yetti et al., 2007), masih menggunakan metode pemodelan dan optimasi secara grafis dan beberapa menggunakan metode RSM. Sementara itu, metode pemodelan dan optimasi Artificial Neural Network-Genetic Algorithm (ANN-GA) telah banyak digunakan secara luas, seperti dalam proses pembuatan koji (Hanai et al., 1999), reaksi hidroksilasi benzena (Nandi et al., 2002) dan desain casting campuran Al-Si (Anijdan et al., 2004). Metode ANN-GA telah berhasil dalam memodelkan dan optimasi sehingga dihasilkan hasil optimum secara global. Oleh karenanya, metode pemodelan dan optimasi dengan metode ANN-GA potensial untuk diaplikasikan pada proses hidrolisa pati menjadi glukosa.
Penelitian terdahulu dilakukan dengan menggunakan metode ANN-GA agar mendapatkan kondisi operasi yang optimum atau membuat parameter dari variabel input untuk menghasilkan performance yang maksimum. Tujuan dari proses optimasi adalah untuk memaksimalkan performance proses secara simultan, sehingga didapatkan input proses yang optimal. Untuk menghasilkan target yang diinginkan, diperlukan strategi ANN-GA dengan dua langkah:
a. Pengembangan pemodelan proses berdasarkan metode ANN. Pemodelan ini memiliki input dari parameter proses operasi dan output dari variabel respon.
b. Input pada model ANN dioptimasi dengan menggunakan teknik GA, sehingga respon optimal didapatkan.
ANN-GA ini dapat digabungkan untuk mendapatkan pemodelan proses dan optimasi (kondisi optimum) dari proses hidrolisa pati menjadi glukosa.
1.2 Perumusan Masalah
Pemodelan umumnya dilakukan dengan metode pendekatan phenemenological. Namun, metode ini mempunyai banyak kendala dan kurang efektif, terutama untuk proses-
proses yang kompleks. Diperlukan pemodelan yang tangguh untuk dapat diterapkan dalam proses hidrolisa pati menjadi glukosa. Selain itu, dibutuhkan pula metode untuk menentukan kondisi optimum dari proses hidrolisa ini. Dalam penetian ini, pemodelan dan optimasi dengan metode hibrida ANN-GA dapat digunakan untuk memodelkan proses-proses dalam hidrolisa pati menjadi glukosa serta mendapatkan kondisi operasi yang optimal.
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan pemodelan dan optimasi proses hidrolisa pati menjadi glukosa dengan metode hibrida ANN-GA.
Manfaat dari penelitian ini adalah dapat diketahui bahwa hibrida ANN-GA dapat digunakan sebagai metode alternative untuk menyelesaikan permasalahan pada proses yang kompleks.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ubi Kayu (Singkong)
Ubi kayu yang juga dikenal sebagai singkong/ketela pohon merupakan pohon dari keluarga Euphorbiaceae. Ubi kayu tumbuh di hampir semua daerah di Indonesia dan termasuk salah satu tanaman pokok selain beras, karena mengandung karbohidrat yang cukup besar.
Ubi kayu (Manihot Utillisima) mempunyai kemampuan untuk membentuk gel melalui proses pemanasan (90oC atau lebih) sebagai akibat pecahnya struktur amilosa dan amilopektin. Pemecahan ikatan amilosa dan amolopektin akan menyebabkan terjadinya perubahan lebih lanjut seperti peningkatan molekul air sehingga terjadi penggelembungan molekul, pelelehan kristal, dan terjadi peningkatan viskositas Kandungan yang terdapat dalam ubi kayu sebagai berikut
Tabel 2.1. Komposisi Ubi Kayu
Kandungan dalam Ubi Kayu
Unit/100 gr
Air
Karbohidrat
Protein
Serat
Lemak
Kalsium
Fosfor
Zat besi
Vitamin B1
Vitamin C
Thiamin
Rhiboflavin
Kalori
63%
35,3%
0,6 gr
1,6 gr
0,2 gr
30 ml
1,1 ml
49 ml
0,06 mg
30 mg
0,12 mg
0,06 mg
75 kal
( Widiastoety dan Purbadi, 2003)
2.2 Pati atau Amilum
Pati atau amilum adalah karbohidrat kompleks yang tidak larut dalam air, berwujud bubuk putih, tawar dan tidak berbau. Pati merupakan bahan utama yang dihasilkan oleh tumbuhan untuk menyimpan kelebihan glukosa (sebagai produk fotosintesis) dalam jangka
panjang. Pati dapat dibuat dari tumbuhan singkong (ubi kayu), ubi jalar, kentang, jagung, sagu, dan lain-lain.
Didalam pati tersusun atas dua macam karbohidrat, amilosa dan amilopektin (struktur bangun dapat dilihat pada gambar ), dalam komposisi yang berbeda-beda. Dua fraksi ini dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi tidak terlarut disebut amilopektin. Secara struktur amilosa mempunyai struktur lurus, sedang amilopektin bercabang. Adapun komposisi pati ubi kayu sebagai berikut :
Tabel 2.2 Komposisi pati ubi kayu
Komosisi
% berat
Karbohidrat
Lemak
Protein
Air
Abu
87,87
0,51
1,60
7,80
2,22
(Widowati, 2001)
Gambar 2.1 Rumus bangun karbohidrat
Gambar 2.2 Rumus bangun Amilosa
Gambar 2.3 Rumus bangun Amilopektin
2.3 Hidrolisa Pati
Hidrolisis adalah proses dekomposisi kimia dengan menggunakan air untuk memisahkan ikatan kimia dari substansinya. Hidrolisis pati merupakan proses pemecahan molekul amilum menjadi bagian-bagian penyusunnya yang lebih sederhana seperti dekstrin, isomaltosa, maltosa dan glukosa (Purba, 2009).
Proses hidrolisis pati menjadi sirup glukosa dapat menggunakan katalis enzim, asam atau gabungan keduanya. Hidrolisis secara enzimatis memiliki perbedaan mendasar dengan hidrolisis secara asam. Hidrolisis secara asam memutus rantai pati secara acak, sedangkan hidrolisis secara enzimatis memutus rantai pati secara spesifik pada percabangan tertentu. Hidrolisis secara enzimatis lebih menguntungkan dibandingkan hidrolisis asam, karena prosesnya lebih spesifik, kondisi prosesnya dapat dikontrol, biaya pemurnian lebih murah, dan kerusakan warna dapat diminimalkan (Virlandi, 2008). Secara garis besar, tahap hidrolisis pati adalah gelatinisasi, liquifikasi dan sakarifikasi.
Menurut Purba (2009) proses hidrolisis enzimatik dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: Enzim, ukuran partikel, Suhu, pH, waktu hidrolisis, perbandingan cairan terhadap bahan baku (volume substrat), dan pengadukan. Enzim yang dapat digunakan adalah α-amilase, β-amilase, amiloglukosidase, glukosa isomerase, pullulanase, dan isoamilase. Enzim yang biasa digunakan untuk proses pembuatan sirup glukosa secara sinergis adalah enzim α-amylase dan enzim glukoamilase. Enzim α-amylase akan memotong ikatan amilosa dengan cepat pada pati kental yang telah mengalami gelatinisasi. Kemudian enzim glukoamilase akan menguraikan pati secara sempurna menjadi glukosa pada tahap sakarifikasi. Reaksi kimia pembuatan glukosa dengan hidrolisa pati adalah :
Gambar 2.4 Reaksi pembentukan glukosa
Pasta Pati
α-amilase
105OC ,5 menit
Gelatinisasi Pati (< 1 DE)
95OC, 2 jam
Liquifikasi Pati
Liquifikasi
Gelatinisasi
Sakarifikasi
pH 4,5
glukoamilase
60-70OC,72 jam
pH 5,5
α-amilase
55OC ,48 jam
Sirup glukosa (99 DE)
97% D-glukose
1,5% maltosa
0,5% isomaltose
1,0% oligosakarida
Sirup maltosa (44 DE)
4% D-glukose
56% maltosa
28% isomaltose
12% oligosakarida
Tahapan pembuatan sirup glukosa dengan hidrolisa pati adalah :
Pati Singkong
30-40 % suspensi pati
pH 5-6
Gambar 2.5 Skema pembuatan sirup glukosa dengan hidrolisis pati
 Gelatinisasi
Gelatinisasi, yaitu memecah pati yang berbentuk granular menjadi suspensi yang viscous. Gelatinisasi, yaitu memecah pati yang berbentuk granular menjadi suspensi yang viscous. Granular pati dibuat membengkak akibat peningkatan volume oleh air dan tidak dapat kembali lagi ke kondisi semula. Perubahan inilah yang disebut gelatinisasi. Suhu pada saat granular pecah disebut suhu gelatiniasi yang dapat dilakukan dengan adanya panas.
 Liquifikasi
Tahap liquifikasi secara enzimatik merupakan proses hidrolisa pati menjadi dekstrin oleh enzim pada suhu diatas suhu gelatinisasi dan pH optimum aktivitas enzim, selama waktu yang telah ditentukan untuk setiap jenis enzim. Proses liquifikasi selesai ditandai dengan parameter dimana larutan menjadi lebih encer seperti sup.
 Sakarifikasi
Tahap sakarifikasi adalah tahap pemecahan gula kompleks menjadi gula sederhana dengan penambahan enzim glukoamilase. Pada tahap ini dekstrin diubah menjadi glukosa.
Untuk memurnikan sirup glukosa yang dihasilkan dapat dengan proses absorbsi oleh arang aktif.
2.4 Glukosa
Glukosa (C6H12O6) adalah monosakarida yang paling banyak terdapat di alam. Sedang, sirup glukosa didefinisikan sebagai cairan jernih dan kental yang komponen utamanya adalah glukosa. Sirup glukosa banyak digunakan sebagai pemanis dalam industri makanan dan minuman.
Gambar 2.6 Rumus bangun glukosa
Tingkat mutu sirup glukosa yang dihasilkan ditentukan oleh warna sirup, kadar air, dan tingkat konversi pati yang dihitung sebagai ekuivalen dekstrosa (DE). Nilai ekuivalen dekstrosa (DE) sirup glukosa yang tinggi dapat diperoleh dengan optimalisasi proses likuifikasi dan sakarifikasi, sedangkan kadar padatan kering dan warna sirup glukosa yang sesuai standar (SNI) diperoleh dengan proses evaporasi. Proses evaporasi yang dilakukan pada kondisi non-vakum atau pada tekanan udara 1 atm (1×105 Pa) menyebabkan warnanya menjadi kecoklatan.
Tabel 2.3 Syarat mutu sirup glukosa
Komponen
Spesifikasi
Air
Max 20%
Abu (dasar reduksi)
Max 1%
Gula reduksi sebagai D-Glukosa
Min 30%
Pati
Tidak ternyata
Logam berbahaya (Pb,CN,Zn)
Negatif
Pemanis buatan
Negatif
2.5 Overview Penelitian Teknologi Hidrolisa Pati
Penelitian tentang pembuatan glukosa dengan proses hidrolisa telah banyak dikembangkan oleh para peneliti terdahulu. Beberapa penelitan tersebut ditampilkan dalam tabel 2.4.
Tabel 2.4 Beberapa penelitian tentang hidrolisa pati
No
Proses/
teknologi
Jenis katalis/ enzim yg digunakan
Kondisi
Proses
Kinerja
Proses
Refferensi
1.
Hidrolisa enzimatik ubi kayu dan ubi jalar
Enzim acid fungal amilase dan glukoamilase
Ubi kayu:
Suhu 400C
Konsentrasi pati 35% w/v
Ubi jalar :
Suhu 400C
Konsentrasi pati 40% w/v
Waktu 7 jam
Ubi kayu :
Yield glukosa
= 56,188 g/l
Ubi jalar :
Yield glukosa
= 28,566 g/l
Purba (2009)
2.
Hidrolisa asam sagu
Asam HCl
Konsentrasi pati 10 % w/v
Kadar HCl 4%
Waktu 30 menit
Yield Glukosa
= 263447,06 ppm
Soeroso et al. (2008)
3.
Hidrolisa enzimatik
Pati singkong
Enzim amilase dan amyloglucoside
Konsentrasi.pati 40% w/v
Dosis enzim
amyloglucoside = 1,5 ml/L
Suhu 900C
Waktu 10 jam
Yield glukosa = 407,526 g/L
Morales et al. (2008)
4.
Hidrolisa asam pati ganyong
Asam (HCl, HNO3, H2SO4)
Konsentrasi HNO3 7%
Konsentrasi Pati 100% w/v
Waktu 1 jam
Kadar glukosa = 48090 ppm
Putri dan Sukandar (2008)
5.
Hidrolisa enzimatik kentang
Enzim phospolase
Konsentrasi pati 10% w/v
Dosis enzim 14,1 U/mL
Waktu 200 jam
Konsentrasi. Glucose-1-Phospolase (G-1-P)
= 185 mM
Sakata et al. (2009)
6.
Hidrolisa enzimatik pati tapioka
Enzim amilase dan glukoamilase
Konsentrasi Pati 10% w/v
Dosis enzim = 0,7 L/ton
Waktu 600 menit
Konversi = 0,9
Rashid et al. (2006)
7.
Hidrolisa enzimatik pati tapioka
Enzim amilase dan glukoamilase
Konsentrasi pati
30 % w/v
Kecepatan putar impeler CSTR =
400 rpm
Waktu 20 jam
Yield Glukosa
= 253,09 mg/mL
Chamsart et al. (2005)
8.
Hidrolisa enzimatik dan asam terhadap pati tapioka
Enzim amilase dan glukoamilase.
Asam HCl.
Asam:
Konsentrasi HCl 1%
Waktu 10 menit
Suhu 1200C.
Enzimatik:
Suhu 600C
Waktu 24 jam
Asam :
Konversi = 94,5%
Enzimatik :
Konversi =
97,3%
Wojciechowski et al. (2002)
9.
Hidrolisa enzimatik dan asam terhadap pati tapioka
Enzim amilase dan glukoamilase.
Asam H2SO4 dan HCl.
Asam :
Konsentrasi Pati 1,5% w/v
HCl 0,1 M
Waktu 90 menit
Suhu 1350C
Enzimatik :
Konsentrasi Pati 1,5% w/v
Suhu 50 0C
Waktu 24 jam
Asam :
Konversi = 66,28 %
Enzimatik :
Konversi =
70,11 %
Yoonan dan Kongkiattikajorn (2004)
10.
Hidrolisa asam dan enzimatik sagu
Asam HCl dan raw starch degrading enzyme (RSDE) dari Acremonium sp.
Konsentrasi HCl = 0,1 M
Konsentrasi RSDE = 1 mL
Suhu 650C
Waktu 2 jam
Konversi = 71,9%
Yetti et al. (2007)
11.
Hidrolisa enzimatik pati kentang dan pati jagung
Enzim glukoamilase
Konsentrasi pati kentang dan jagung = 4% (w/v)
Suhu 400C
Waktu 120 jam
Yield glukosa=
- Pati jagung = 3,40 mg/mL
- Pati kentang=
2,50 mg/mL
Kombong (2004)
12.
Hidrolisa enzimatik pati singkong, jagung, kentang
Enzim amylase
Konsentrasi pati = 3% (w/v)
Suhu 600C
Waktu 72 jam
Yield glukosa=
- Pati singkong = 200,1 mg/g
- Pati kentang
= 107,8 mg/g
- Pati jagung
= 109,6 mg/g
Omemu et al. (2005)
Penelitian terdahulu tentang hidrolisa pati, seperti terlihat pada Tabel 2.4, belum menggunakan metode pemodelan dan optimasi dengan ANN-GA.
2.6 Permodelan dan Optimasi dengan Metode Hibrida Artificial Neural Network-Genetic Algorithm (ANN-GA)
Pemodelan untuk proses kimia dapat dilakukan dengan pendekatan phenemenological (first principles) atau dengan pendekatan empirical (Istadi, 2006). Pengembangan dari permodelan proses dengan phenemenological memiliki banyak kesulitan dalam prakteknya. Oleh karena itu, diperlukan mencari pendekatan alternatif dari pemodelan proses ini, yaitu dengan Artificial Neural Network (ANN). Kekuatan dari ANN adalah struktur yang umum dan memiliki kemampuan untuk mempelajari dari data historikalnya (Desai dkk, 2008). Dalam beberapa tahun terakhir, Genetic Algorithm (GA) termasuk kelompok optimasi stochastic, yang telah digunakan untuk menyelesaikan persoalan dengan baik dalam berbagai ruang lingkup.
Beberapa penelitian dilakukan dengan menggunakan Artificial Neural Network-Genetic Algorithm (ANN-GA) agar mendapatkan kondisi operasi yang optimum atau membuat parameter dari variabel input untuk menghasilkan performance yang maksimum. Tujuan dari proses optimasi adalah untuk memaksimalkan performance proses secara simultan, sehingga didapatkan input proses yang optimal. Untuk menghasilkan target yang diinginkan, diperlukan strategi ANN-GA dengan dua langkah:
a. Pengembangan pemodelan proses berdasarkan Artificial Neural Network (ANN). Pemodelan ini memiliki input dari parameter proses operasi dan output dari variabel respon.
a. Input pada model ANN dioptimasi dengan menggunakan teknik Genetic Algorithm (GA), sehingga respon optimal didapatkan.
2.6.1 Permodelan Artificial Neural Network (ANN)
Permodelan dengan Artificial Neural Network (ANN) ini telah digunakan secara luas dalam bidang teknik kimia, diantaranya untuk permodelan proses steady state dan dinamik, proses identifikasi, yield maksimum, dan deteksi kesalahan dan diagnosis. Keuntungan dari permodelan dengan ANN adalah :
a. Model ini dapat dibuat hanya berdasar data historis proses input-output.
b. Tidak membutuhkan pengetahuan yang berhubungan dengan phenemenological untuk pengembangan model.
c. Dapat memberikan simulasi hubungan antara multiple input-multiple output.
Namun, permodelan dengan ANN ini mempunyai kelemahan dalam ekstrapolasi. Kelemahan ini dapat diatasi dengan mengambil lebih banyak contoh data didaerah dimana ekstrapolasi terjadi.
Prinsip dasar dari ANN digambarkan pada Gambar 2.1.Umumnya neural network akan mengalami training, sehingga partikular input akan membawa ke spesifik target output. Network atau jejaring ini akan disesuaikan berdasarkan perbandingan dari semua output, hingga akhirnya network output cocok dengan target.
Target
Input Output
Menyesuaikan
Gambar 2.7 Prinsip dasar ANN
Untuk memodelkan jejaring neural dan memberikan simulasi terhadap hidrolisis pati menjadi glukosa, dapat menggunakan program MATLAB. Secara umum, empat langkah yang dilakukan adalah memasukkan data, menciptakan jejaring dari objek, melatih jejaring dan mensimulasi respon jejaring terhadap input. Secara skematik dijelaskan pada gambar 2.8.
Gambar 2.8 Diagram skematik multi-layered perceptron (MLP) dengan aliran searah
Dari gambar ditunjukkan pula, bahwa network terdiri dari 3 lapisan node, yaitu input, hidden dan output yang berisikan bilangan R, S, dan K dari proses node, secara berurutan. Setiap node pada lapisan input dihubungkan ke semua node dalam lapisan hidden, dan secara simultan node tersebut akan dihubungkan ke semua node pada lapisan output. Jumlah node
membandingkan
Artificial Neural Network, termasuk hubungan (weight dan bias) antara neuron
dalam lapisan input (R) adalah sama dengan jumlah input pada proses, dan jumlah node output (K) sama dengan jumlah output pada proses. Pemakaian bias node membantu ANN untuk berada dimana saja dalam ruang R-berdimensi. Dari Gambar 2.8, WH dan WO merupakan weight node diantara input dan hidden serta diantara hidden dan output. Sedangkan, yH dan yO merupakan vektor pada output dari lapisan hidden dan output. Dalam sistem, bH dan bO menandakan bias dalam skalar yang menghubungkan lapisan hidden dan output. Weight pada input (W) dapat menyatakan aktivasi fungsi f, dimana menghasilkan output dalam vektor, yaitu y. Fungsi aktivasi input adalah menjumlahkan fungsi (nH atau nO), dimana penjumlahan tersebut berasal dari weight pada input (WH atau WO) dan bias (b). Kemudian jejaring ini akan mengalamani training agar dapat mendekati hubungan non-linear diantara input dan output dan meminimalisasi kesalahan fungsi (error). Jejaring neural dengan arah umpan searah (feedfoward) merupakan fungsi non-linear dan alat pemetaan yang menentukan fungsi non-linear vektor pada dimensi-K (y) dimana f:X→ Y. Data vektor input (X) dipetakan dalam dimensi tinggi melalui pemetaan fungsi non linear (f) untuk memprediksi Y. X adalah vektor input pada dimensi-R dengan bilangan Np dari data (X={xp}; p=1,2,…,Np and x=[x1, x2,…, xR]T), dan Y menghubungkan vektor input pada dimensi-K (Y={yp}; p=1,2,…,Np and Y=[y1, y2, …, yK]T). Persamaan non linear tersebut adalah : y = y(x;W) + b (2.1) dimana W={WH,WO} dan b={bH,bO}. Secara tepat, bentuk persamaan dari hubungan pendekatan input-output dari permodelan dengan tiga lapis dari model ANN adalah: y = f (W O f (W H x + bH ) + bO ) (2.2) dimana f adalah fungsi aktivasi/transfer. Optimal set (W) dari muatan matrik WH, WO adalah dengan meminimalisasi kesalahan fungsi (error). Persamaan yang biasa dipakai untuk menentukan error tersebut adalah dengan Mean-Squared Error (MSE) :
(2.3)
dimana Np dan K adalah jumlah data dan node output yang digunakan dalam pelatihan, i merupakan indeks dari input (vektor), k adalah indeks dari node output. Sementara ti,k dan yi,k menyatakan target yang diinginkan dan prediksi nilai dari node output ke-k dan input ke-i.
KkkkikiNiiPytKNMSE12,,1)(1
2.6.2 Optimasi Proses dengan metode Genetic Algorithm (GA)
Penentuan nilai optimasi dari suatu persamaan dapat dilakukan dengan berbagai cara
atau metode. Metode optimasi yang banyak digunakan saat ini adalah secara analitis dan
secara numerik. Namun, kedua metode ini masih memiliki kendala.
 Secara Analitis
Penentuan optimasi dilakukan dengan cara mendeferensialkan persamaan tersebut.
Contoh penggunaan metode analitis adalah pada suatu persamaan dengan satu variable, x,
yang mempunyai fungsi seperti dibawah :
f(x) = x2- 2x + 1 (2.7)
Dalam metode analitis, untuk menemukan titik minimum, x*, pada fungsi diatas adalah
dengan mengganggap bahwa gradient dari f(x) sama dengan nol.
f’(x) = 0 = 2x -2
dan didapatkan hasil dari persamaan tersebut, yaitu x* = 1. Hasil dari x* disubtitusikan
pada deferensial kedua dari persamaan untuk mengetahui dengan pasti nilai minimumnya
f “(1) = 2 > 0
 Secara Numerik
Optimasi secara numerik dilakukan dengan cara iterasi. Langkah pertama adalah
menentukan nilai awal yang digunakan dalam iterasi. Kemudian menerapkannya pada
persamaan tersebut. Iterasi akan berhenti jika
f(xk+1) – f(xk) < ε1 atau
f ’(xk) < ε2 (2.8)
dimana k adalah jumlah iterasi dan ε adalah nilai batas toleransi atau kriteria ketelitian
yang ditentukan. Salah satu metode perhitungan secara numerik adalah metode Newton.
Dalam metode ini deferensiasi pertama maupun kedua dari persamaan dibutuhkan dalam
perhitungan, dimana perhitungan didasarkan pada persamaan dibawah ini:
"( )
'( ) 1
k
k
k k
f x
f x
x  x   (2.9)
Apabila contoh seperti pada persamaan (2.7) dilakukan perhitungan dengan metode
newton, maka langkah awal adalah dengan menentukan nilai x awal pada iterasi pertama.
Iterasi 1 :
Nilai awal = x1 = 3
"( )
'( )
1
1
2 1
f x
f x
x  x 
2
2( ) 2 2 1 
 
x
x x
1 ( )
2
2(3) 2
3
2 2 1
2
x x x
x
 

 
Iterasi 2 :
x2 = 1
"( )
'( )
21
2
3 2
f x
f x
x  x 
2
2( ) 2 3 2 
 
x
x x
1 ( )
2
2(1) 2
1
3 3 2
3
x x x
x
 

 
Dengan metode ini, nilai minimum ditemukan pada itersai yang kedua.
Dalam metode secara analitis, jika persamaan f (x) adalah persamaan yang lebih
kompleks, maka butuh beberapa tahapan untuk perhitungan. Selain itu, jika variable yang
digunakan lebih dari satu (x1, x2,..), metode dengan analitis sulit digunakan. Metode numerik
lebih efektif digunakan jika persamaan tersebut komplek dibanding dengan metode secara
analitis, karena tahapan dapat diminimalisir. Namun kelemahan pada metode numerik,
khususnya metode newton adalah dibutuhkan deferensiasi pada persamaan. Jika data yang
didapat sangatlah kompleks, maka metode diferensial akan sulit untuk digunakan, karena
barangkali hanya diperoleh titik optimum lokal saja bukan titik optimum yang global. Oleh
karenanya dibutuhkan metode optimasi yang cukup efektif digunakan pada data-data yang
sangat kompleks sekalipun. Genetic Algorithma (GA) merupakan metode yang dinilai efektif
untuk menyelesaikan masalah dengan data-data yang kompleks.
Secara umum, Genetic Algorithm (GA) adalah metode untuk menyelesaikan masalah
optimasi berdasarkan prinsip bertahan dalam evolusi. Hal ini dapat dilakukan dengan
menciptakan sebuah populasi yang terdiri dari individu-individu dimana setiap individu
mempresentasikan kromosom seperti yang terdapat pada DNA manusia. Individu-individu
pada populasi tersebut kemudian mengalami proses evolusi. GA adalah salah teknik pencari
secara acak yang sangat stategis, dimana dapat bertahan untuk menemukan penyelesaian yang
optimal atau mendekati optimal pada persamaan non-linier yang kompleks.
Dalam perhitungan untuk menentukan optimasi dengan GA dapat menggunakan
software MATLAB. Genetic Algorithm menggunakan dan memanipulasi populasi untuk
memperoleh kondisi optimum. Dalam setiap langkah, GA menyeleksi secara acak dari
populasi yang ada untuk menentukan yang akan menjadi parent dan menggunakannya untuk
menghasilkan children pada generasi berikutnya. Pada setiap generasi, kecocokan parent atau
individu dalam populasi dievaluasi.beberapa individu dipilih dari populasi mereka
berdasarkan dari kecocokan mereka dalam fungsi fitness, dan diubah (direkomendasikan dan
mungkin bermutasi secara acak) untuk membentuk suatu populasi baru. Populasi baru itu
kemudian digunakan untuk iterasi selanjutnya dalam algoritma. Biasanya, algoritma akan
berhenti ketika jumlah maksimum dari generasi telah dihasilkan atau tingkat kecocokan yang
telah ditentukan telah terpenuhi untuk populasi tersebut. Langkah utama untuk menciptakan
generasi berikutnya dari populasi adalah:
a. Seleksi. Memilih individu, yang disebut dengan parent, yang akan menghasilkan populasi
di generasi berikutnya
b. Crossover. Mengkombinasikan dua parent hingga membentuk populasi pada generasi
berikutnya. Fraksi crossover diatur antara 0 dan 1. Crossover dengan fraksi 1, mempunyai
arti bahwa semua children selain individu elite adalah crossover children, sedangkan
crossover dengan fraksi 1 menandakan bahwa semua children adalah mutasi. Fungsi
fitness adalah jumlah nilai absolute dari koordinat, yaitu:
( , ,... ) | | | | .... | | 1 2 n 1 2 n f x x x  x  x   x (2.10)
 Single-Point Crossover
Proses ini dilakukan dengan memotong kromosom pada satu lokasi.
Parent: Child:
 Multi-Point Crossover
Proses ini dilakukan dengan memotong kromosom lebih pada satu lokasi.
Parent: Child:
c. Mutasi. Menerapkan perubahan pada parent untuk membentuk anak.
Jumlah mutasi dari algoritma yang ditambahkan pada parent pada setiap generasi dapat
dikontrol dengan skala dan penyusutan.
 Skala, adalah parameter yang menentukan standard deviasi pada generasi pertama.
Jika jangkauan inisial pada vektor v , maka akan memberikan skala (v(2) - v(1)).
 shirnk, merupakan parameter yang mengontrol untuk generasi selanjutnya. Jika
jangkauan inisial pada vektor 2-1, maka standar deviasi pada generasi k, σk, adalah
 


 


   generation
k
shrink k k 1 1   (2.11)
Parent A Child A
Tahapan-tahapan GA untuk menentukan titik optimasi :
1. Memulai algoritma dengan membuat populasi secara acak.
2. Membuat algoritma dengan populasi atau generasi yang baru. Untuk membuat populasi
baru, tahapan yang harus dijalankan adalah:
a. Memberikan skor pada setiap kromosom dalam populasi berdasarkan nilai fitness.
Fitness merupakan merupakan kualitas dari kromosom yang membentuk populasi.
b. Memberikan skala diantara nilai fitness.
c. Memilih parent berdasarkan nilai fitness.
d. Menghasilkan individu (children) dari parent dengan cara mutasi atau crossover.
e. Menukar tempat pada populasi dengan children untuk membentuk generasi
selanjutnya
3. Menghentikan algoritma apabila criteria telah terpenuhi.
2.6.4 Algoritma Hibrida ANN-GA
Dengan mengembangkan proses premodelan berdasar ANN, GA dapat digunakan
untuk mengoptimasi pada input didimensi-R (x) dalam model ANN. Hubungan optimasi
dapat ditentukan dengan menemukan optimasi dari factor dimensi-R, x*=[x1
*,x2*,…]T,
Mutation
sehingga dapat memperbesar dimensi-K dari fungsi vector f, yang ditunjukkan pada
persamaan berikut:
f(x*,W,b) ( *, , )
1
f x W b
K
k
k 
 (2.12)
dimana W={WH,WO} dan b={bH,bo} adalah parameter weight dan bias untuk lapisan hidden
dan output. Yang dapat diperhatikan dalam persamaan diatas adalah bahwa problem tersebut
merupakan optimasi dengan multi objektive (MO). Pendekatan yang mudah dan sering
digunakan untuk menyelesaikan permasalahan optimasi MO adalah dengan mengumpulkan
MO menjadi sebuah fungsi single objective (SO). Dalam metode pengumpulan ini, setiap
fungsi objective dikalikan dengan koefisient weight (wk) dan hasil fungsi dikombinasikan
untuk membentuk sebuah fungsi maksimal. Maksimalisasi dari sebuah fungsi tersebut,
ditunjukkan pada persamaan dibawah:


K
k
k k imize f x W W f x W
1
max ( , ) ( , );
(2.13)

  
K
k
k k w dan w
1
0 1 1
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Studi Kasus Hidrolisa Pati menjadi Glukosa
Data yang digunakan adalah data sekunder yang didapat dari penelitian Baskar et al.
(2008). Dalam penelitian Baskar et al. (2008), pati berasal dari singkong atau ubi kayu. Pati
singkong ini kemudian dihidrolisa dengan bantuan enzim α-amylase hingga menjadi glukosa.
Konsentrasi pati, konsentrasi enzim, suhu, waktu hidrolisa adalah variabel independent yang
digunakan dalam penelitian, sedang variabel dependent adalah yield glukosa. Hubungan
antara keempat variabel independent dengan yield glukosa yang dihasilkan akan dimodelkan
dan dioptimasi dengan metode ANN-GA.
3.2 Rancangan Permodelan dan Optimasi
3.2.1 Pengembangan Algorithma Permodelan dengan ANN
Secara umum, empat langkah yang dilakukan dalam pemodelan adalah memasukkan
data yang akan digunakan dalam pelatihan, menciptakan jejaring dari objek (lapisan input,
hidden dan output), training jejaring dan mensimulasi respon jejaring terhadap input. Jejaring
neural akan disesuaikan atau dilatih, sehingga partikular input akan membawa ke spesifik
target output. Network (jejaring) akan disesuaikan berdasarkan perbandingan dari semua
output, hingga akhirnya network output cocok dengan target.
Memasukkan data input dan output
Membuat jaringan (input, hidden, output)
Training jaringan
Membandingkan hasil dengan target
MSE < 0,0001
?
Selesai
yes
no
Gambar 3.1 Diagram alir pemodelan dengan metode ANN
3.2.2 Pengembangan Algorithma Hibrida ANN-GA untuk Permodelan dan Optimasi
Pemodelan dan optimasi dengan ANN-GA diterapkan dalam proses hidrolisa pati menjadi glukosa. Tahapan dalam pemodelan dan optimasi menggunakan metode hibrida ANN-GA adalah sebagai berikut :
1. Pengembangan pemodelan dengan ANN
Spesifikasi input dan output pada data percobaan akan dilatih (train) dan ditest dengan menggunakan model ANN. Dalam arsitektur jejaring model ANN, terdiri atas lapisan input, hidden dan output. Jejaring backpropagation optimal dengan menggunakan 2-lapis jejaring feed-foward. Jejaring feed-forward dengan 2 lapis akan menunjukkan hubungan input dan output yang lebih baik (hubungan input dan output yang dinginkan).
2. Pelatihan pemodelan ANN
Langkah awal untuk memodelkan algorithma adalah dengan training data contoh hingga didapat hubungan input-output. Pelatihan jejaring yang popular dan cepat adalah dengan pelatihan algoritma Levenberg-Marquardt.
3. Inisialisasi populasi
Memasukkan indeks generasi (Gen) hingga nol dan jumlah populasi (Npop), dan jumlah variabel bebas (nvars). Populasi dihasilkan secara acak. Setiap individu dengan jarak tertentu atau disebut dengan genes dibagi menjadi beberapa segment berdasar jumlah variable yang dimaksud (nvars).
4. Perhitungan fitness
Dalam langkah iini, performance (fitness) dari populasi dihasilkan berdasar fungsi fitness. Vektor input akan dilatih oleh pemodelan ANN agar mendapatkan hubungan antara input-output. Output ditransformasikan kembali ke nilai awal dan kemudian dimanfaatkan untuk perhitungan nilai/skor fitness pada data.
5. Scala dari skor fitness
Dalam GA, seleksi menggunakan nilai skala fitness untuk memilih parent pada generasi selanjutnya. Selisih antara skala akan mempengaruhi performance dari GA. Jika skalanya terlalu luas, maka individu dengan nilai skala tertinggi akan mereproduksi secara cepat, pengambil alihan populasi juga terlalu cepat, sehingga mencegah GA untuk mencari pada daerah yang lain pada penyelesaian. Dan bila nilai skalanya terlalu kecil, semua individu rata-rata akan mengalami kemajuan yang terlalu lambat. Dalam algoritma, skor terendah mempunyai nilai skala yang tertinggi.
6. Seleksi parent
Pemilihan parent berdasar pada nilai skala. Individu dapat dipilih lebih dari sekali sebagai parent. Kemungkinan pemilihan tertinggi adalah pada individu dengan skala tertinggi.
7. Reproduksi children
Pemilihan reproduksi akan mempengaruhi pembuatan children pada GA dalam generasi berikutnya berdasarkan parent yang telah dipilih. Elite count (Ecount) menunjukkan jumlah individu dengan nilai fitness terbaik, sehingga dapat bertahan pada generasi berikutnya. Ecount diatur dengan range: 1≤ Ecount ≤ Npop. Individu ini adalah elite children. Crossover fraction (Pcross) merupakan fraksi pada setiap populasi, yang dihasilkan melalui crossover. Sisa individu pada generasi berikutnya dihasilkan oleh proses mutasi. Fraksi crossover diatur antara 0 dan 1.
8. Perpindahan tempat children pada populasi
Setelah children yang baru didapatkan, maka populasi dipindah tempatkan dengan children, sehingga membentuk generasi selanjutnya.
9. Increment indeks generasi
Increment indeks generasi adalah 1:Gen = Gen+1
10. Mengulangi langkah 4-9 hingga didapatkan hasil yang konvergen
Kriteria untuk penghentian algoritma adalah:
 Generasi : algoritma akan berhenti ketika generagi telah mencapai nilai maksimum (Genmax).
 Batas fitness : algoritma akan berhenti ketika fungsi fitness pada populasi mempunyai point yang terbaik hampir atau sama dengan batas fitness.
 Batas waktu : algoritma akan berhenti ketika batas waktu telah tercapai.
 Penghentian generasi : algoritma akan berhenti, ketika tidak adanya peningkatan pada fungsi objective secara berurutan.
 Penghentian batas waktu : algoritma akan berhenti ketika tidak adanya peningkatan fungsi selama interval waktu.
11. Mendapatkan children yang tertinggi sebagai vektor optimal.
Gambar 3.2 Diagram alir pemodelan dan optimasi dengan hibrida ANN-GA
Menentukan parent berdasarkan nilai skala dari fitness dengan memanfaatkan fungsi seleksi
Membuat populasi secara acak dari individu Npop
 Normalisasi vector xj dengan range [-1 1]
 Mensimulasikan normalisasi xj kedalam model ANN untuk menentukan output vector yj , dimana yj=f(xj,W.b)
 Re-transform vector output yj ke dalam nilai yang sebenarnya
 M engevaluasi setiap individu pada populasi dengan menghitung fitness individu ke –j menggunakan yj
 Menentukan skala dari fitness sehingga sesuai dari range
 Spesifik data input dan output untuk training permodelan ANN
 Membuat jaringan (lapisan input, hidden, dan output)
 Normalisasi data dengan jarak [-1 1]
 Melatih (train) jaringan menggunakan normalisasi data input dan output
 Mengatur indeks generasi, Gen=0
 Mengatur jumlah populasi, Npop
 Mengatur jumlah variabel bebas, nvars
 Reproduksi children dari parent tersebut. Metode yang dapat digunakan adalah elite, crossover dan mutasi
 Mengatur jumlah elite, kemungkinan dari crossover dan mutasi
 Membuat children dengan generasi baru dari crossover dan mutasi
 Menukar tempat antara children dari populasi untuk membentuk generasi selanjutnya
 Memperbaharui indeks generasi (Gen =Gen+1)
Gen>Genm
?
Peringkat teratas dari children adalah titik optimal, xm
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Pengujian Model dan Optimasi ANN-GA
Sebelum metode hibrida ANN-GA ini diterapkan untuk permodelan dan optimasi hidrolisa pati menjadi glukosa, dilakukan studi pendahuluan. Studi pendahuluan ini dilakukan sebagai tahap untuk pengujian model dan optimasi dengan menggunakan metode ANN-GA. Gambar 4.1, merupakan grafik yang dibuat dengan menggunakan metode ANN-GA. Dari grafik didapatkan R2= 0,9958, optimasi pada titik (1.1295,-1.0107).
Model ANN yang digunakan pada Gambar 4.1, mempunyai struktur 1-5-3-1. Struktur ini berarti bahwa model ANN yang dibuat berisi 1 input, 5 hidden layers bagian pertama, 3 hidden layers bagian kedua, dan 1 output. Dari Gambar 4.1, diketahui bahwa permodelan dengan metode ANN menghasilkan R2= 0,9958, dimana mendekati sempurna (R2=1). Nilai tersebut menunjukkan bahwa permodelan dengan ANN telah mendekati dengan data eksperimen. Hal ini menunjukkan bahwa model ANN cocok untuk mempresentasikan proses sebenarnya.
Pengujian optimasi pada Gambar 4.1 dilakukan secara analitis. Grafik tersebut dibuat berdasar persamaan f(x) = x2 – 2x. Pengujian optimasi dilakukan dengan cara mendeferensialkan persamaan tersebut. Dalam metode analitis, untuk menemukan titik minimum, x*, pada fungsi diatas adalah dengan mengganggap bahwa gradient dari f’(x) sama dengan nol.
f’(x) = 2x – 2 = 0
dan didapatkan hasil dari persamaan tersebut, yaitu x* = 1. Hasil dari x* disubtitusikan pada deferensial kedua dari persamaan untuk mengetahui dengan pasti nilai minimumnya :
f “(1) = -1 > 0
Sehingga, didapatkan titik optimum secara analitis pada (1,-1).
Optimasi dilakukaan dari model ANN yang telah dibuat dengan menggunakan metode GA. Hasil optimasi dari GA yang didapat hampir sama dengan optimasi secara analitis, dengan persen kesalahan 0,42%. Dimana hasil optimasi pada GA (1.1295,-1.0107) dan hasil analitis (1,-1). Hal ini menunjukkan bahwa hibrida ANN-GA bisa untuk diterapkan dalam pemodelan dan optimasi dengan hidrolisa pati menjadi glukosa. Gambar 4.2 menunjukakan fitness value dan current best individual dari metode optimasi dengan GA.
Gambar 4.1. Grafik pengujian model dan optimasi dengan ANN-GA
Gambar 4.2 fitness value dan current best individual dengan metode optimasi GA
02468101214161820-20246GenerationFitness valueBest: -0.014965 Mean: -0.014965 100.20.40.60.8Number of variables (1)Current best individualCurrent Best IndividualBest fitnessMean fitness
4.2 Kajian Numerik Model dan Optimasi ANN-GA
Pemodelan dan optimasi dengan hibrida ANN-GA diterapkan pada kasus hidrolisa pati menjadi glukosa. Data yang digunakan adalah data sekunder dari penelitian Baskar et al. (2008) yang berjudul “Optimization of Enzymatic Hydrolysis of Manihot Esculenta Root Starch by Immobilized α-Amylase Using Response Surface Methodology”. Pemodelan dengan ANN mampu untuk menyelesaikan permasalahan dengan Multi Input Single Output (MISO). Pada pemodelan ini, input terdiri atas empat variable bebas, sedangkan output yang dihasilkan hanya terdiri atas satu variable terikat. Variabel input yang digunakan adalah konsentrasi pati, konsentrasi enzim, suhu, dan waktu hidrolisa. Sedangkan variable output yang dihasilkan adalah yield glukosa. Model ANN yang digunakan mempunyai struktur 4-5-3-1. Struktur ini menandakan bahwa model ANN mempunyai 4 input, 5 hidden layers bagian pertama, 3 hidden layers bagian kedua, dan 1 output. Gambar 4.3 menunjukkan karakteristik model ANN. Gambar ini menunjukkan hubungan antara yield glucose experiment (target) dengan yield glucose predicted (output), dan menghasilkan koefisien regresi (R) sebesar 0.98577. Nilai R yang tinggi menunjukkan bahwa pemodelan dengan ANN mampu untuk memodelkan data yield glukosa hampir sama dengan data eksperimen yield glukosa.
Gambar 4.3 Karakteristik model ANN
Tabel 4.1. Hubungan antara konsentrasi pati, konsentrasi enzim, suhu, waktu terhadap yield glukosa (Baskar et al., 2008)
No.
Parameter Proses
Yield Glukosa
(mg/mL)
Konsentrasi Pati
% (w/v)
Konsentrasi Enzim
% (w/v)
Suhu
0C
Waktu
menit
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30. 31.
3
6
3
6
3
6
3
6
3
6
3
6
3
6
3
6
1.5
7.5
4.5
4.5
4.5
4.5
4.5
4.5
4.5
4.5
4.5
4.5
4.5
4.5
4.5
0.75
0.75
1.25
1.25
0.75
0.75
1.25
1.25
0.75
0.75
1.25
1.25
0.75
0.75
1.25
1.25
1
1
0.5
1.5
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
45
45
45
45
65
65
65
65
45
45
45
45
65
65
65
65
55
55
55
55
35
75
55
55
55
55
55
55
55
55
55
90
90
90
90
90
90
90
90
150
150
150
150
150
150
150
150
120
120
120
120
120
120
60
180
120
120
120
120
120
120
120
2.608
4.175
4.732
5.222
0.541
1.812
2.133
2.130
4.464
5.630
4.726
5.484
1.535
1.687
2.079
1.662
3.554
3.687
0.732
5.264
2.318
1.226
4.191
3.757
4.468
4.942
4.468
4.847
4.468
4.847
4.468
Tabel 4.1 menunjukkan data sekunder hubungan antara variabel input (konsentrasi pati, konsentrasi enzim, suhu, dan waktu hidrolisis) dan variabel output (yield glukosa) yang diambil dari penelitian yang dilakukan oleh Baskar et al. (2008). Parameter operasi yang digunakan dalam optimasi hidrolisa pati menjadi glukosa dapat dilihat dari Tabel 4.2. Sedang, Tabel 4.3 menunjukkan parameter komputasi yang digunakan dalam optimasi dengan metode GA. Jumlah population size yang digunakan adalah 40, dimana 2 dari jumlah tersebut merupakan elite yang nantinya digunakan dalam generasi selanjutnya, sedangkan 80% dari populasi yang tersisa digunakan untuk crossover reproduction dan 20% sisanya dengan mutation. Parameter-parameter proses pada Tabel 4.1 ini akan diujikan untuk mengetahui nilai optimasi masing-masing parameter untuk menghasilkan yield glukosa yang optimum,
dengan menggunakan parameter komputasi pada Tabel 4.3. Pengujian ini, dilakukan dengan mempertahankan dua variable pada parameter proses Konstan pada level menengah.
Tabel 4.2 Parameter operasi yang digunakan dalam hidrolisa pati menjadi glukosa
Parameter Operasi
Rentang nilai
Konsentrasi pati, % (w/v)
Konsentrasi enzim, % (w/v)
Suhu, 0C
Waktu, menit
1.5 ≤ X1 ≤ 7.5
0.5 ≤ X2 ≤ 1.5
35 ≤ X3 ≤ 75
60 ≤ X4 ≤ 180
Tabel 4.3 Parameter komputasi yang digunakan dalam optimasi dengan GA
Parameter Komputasi
Nilai
Population Size
Crossover fraction
Number of generation
Mutation probability
Elite Count
40
0.8
20
0.05
2
4.3 Simulasi dan Optimasi Pengaruh Konsentrasi Pati dan Konsentrasi Enzim terhadap Yield Glukosa
Data yang digunakan merupakan data sekunder dari penelitian Baskar et al. (2008). Gambar 4.4 menunjukkan hubungan antara parameter proses, yaitu konsentrasi pati dengan konsentrasi enzim terhadap yield glukosa yang dihasilkan, dimana parameter suhu dan waktu dibuat Konstan pada 55ºC dan 120 menit. Konsentrasi substrat dapat mempengaruhi laju produksi (yield glukosa) dan aktivitas katalitik enzim. Metode optimasi yang digunakan oleh Baskar et al. (2008) adalah dengan Response Surface Methodology (RSM), sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 4.4(b). Sementara Gambar 4.4(a) merupakan hasil pemodelan menggunakan metode hibrida ANN-GA. Dari kedua gambar, menunjukan perbedaan secara grafis. Pemodelan dengan ANN tampak mampu memodelkan dari persamaan nonlinear yang kompleks, dimana metode RSM hanya mampu untuk memodelkan secara polynomial. Perbedaan model ini akan mempengaruhi nilai optimasi yang didapat nantinya. Optimasi dengan GA dinilai lebih akurat karena mampu menemukan titik optimum secara global dari pemodelan ANN.
(a)
(b)
Gambar 4.4 Pengaruh konsentrasi pati dan konsentrasi enzim terhadap yield glukosa. (a) dengan metode hibrida ANN-GA, (b) dengan metode RSM (Baskar et al., 2008)
Gambar 4.4(a) memperlihatkan konsentrasi pati pada rentang 6-7.5 %(w/v), dan konsentrasi enzim pada rentang (1-1.5 %(w/v)), yield glukosa yang dihasilkan tinggi (>4.5 mg/mL). Nilai konsentrasi pati dan konsentrasi enzim yang lebih rendah atau lebih tinggi dari rentang tersebut, akan dihasilkan yield glukosa yang sedikit. Hal ini dikarenakan kondisi optimum dicapai pada konsentrasi pati 7.1302 % (w/v) dan konsentrasi enzim 1.4708 %(w/v), dimana suhu dan waktu dibuat Konstan pada 55ºC dan 120 menit.
Laju pembentukan produk meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi substrat hingga dicapai laju reaksi maksimum untuk kemudian turun kembali mulai harga konsentrasi substrat tertentu. Pada konsentrasi substrat tetap, dalam batas tertentu, laju suatu reaksi enzimatik meningkat sebanding dengan meningkatnya konsentrasi enzim. Hal ini berarti makin banyak enzim, sampai batas tertentu, makin banyak substrat yang terkonversi karena makin tinggi aktivitas enzim. Pada jumlah enzim yang sama, kenaikan konsentrasi substrat menyebabkan penurunan persen konversi karena jumlah enzim tidak cukup untuk mengkonversi pati. Pada konsentrasi yang rendah, efisiensi konversi pati sangat tinggi. Namun demikian, perlu diingat bahwa efisiensi yang tinggi pada konsentrasi substrat yang rendah hanya mengkonversi pati dalam jumlah yang kecil. Sebaliknya, pada konsentrasi pati yang tinggi, meski efisiensi konversinya rendah, jumlah pati yang terkonversinya bisa saja lebih banyak (Sukandar et al., 2009).
Hal ini sesuai pula dengan penelitian yang dilakukan Ikhsan et al.(2009) yang mendapatkan konsentrasi enzim optimal pada 1.4% dengan bahan baku jerami padi. Menurut Ikhsan et al.(2008), semakin besar konsentrasi enzim, semakin meningkat kadar glukosa. Hal
024680.511.5-20246Konsentrasi Pati %(w/v)Konsentrasi Enzim %(w/v)Yield Glukosa (mg/mL)
ini terjadi karena semakin besar konsentrasi, menyebabkan tumbukan antar molekul reakan dengan enzim meningkat, sehingga penyusupan molekul enzim ke dalam substrat lebih sering terjadi. Akan tetapi, peningkatan konsentrasi enzim diatas kondisi optimal, glukosa yang didapat relatif konstan. Hal ini terjadi karena penurunan energi aktivasi reaksi hidrolisa relatif kecil.
4.4 Simulasi dan Optimasi Pengaruh Konsentrasi Pati dan Suhu terhadap Yield Glukosa
Gambar 4.5 menunjukkan hubungan antara parameter proses, yaitu konsentrasi pati dengan suhu terhadap yield glukosa yang dihasilkan, dimana parameter konsentrasi enzim dan waktu dibuat konstan pada 1 %(w/v) dan 120 menit. Gambar 4.5 (a) merupakan pemodelan dan optimasi dengan metode ANN-GA, sedang metode RSM ditunjukkan pada Gambar 4.5 (b). Kondisi optimum pada kedua gambar menunjukkan hasil yang berbeda. Optimasi dengan metode ANN-GA menunjukkan pada konsentrasi pati 7.1302 %(w/v) dan suhu 40.5250 ºC, dihasilkan yield glukosa sebesar 6.0842 mg/mL. Pada metode RSM, kondisi optimum didapat pada konsentrasi pati 4.5%(w/v) dan suhu 45ºC dengan yield glukosa sebesar 5.17mg/mL.
Pada Gambar 4.5(a), menunjukkan bahwa konsentrasi pati (6-7.5 %(w/v)) dan pada suhu rendah (40-60ºC), memghasilkan yield glukosa yang tinggi (>4.5 mg/mL). Nilai konsentrasi pati dan suhu yang lebih rendah atau lebih tinggi dari rentang tersebut, akan dihasilkan yield glukosa yang sedikit. Hal ini dikarenakan kondisi optimum dicapai pada konsentrasi pati 7.1302 %(w/v) dan suhu 40.5250 ºC, dengan yield glukosa sebesar 6.0842 mg/mL. Suhu gelatinisasi tergantung pada konsentrasi pati. Semakin besar konsentrasi pati, maka semakin banyak amilum yang akan dipecah menjadi glukosa dan larutanpun semakin kental. Sehingga suhu yang digunakan bukan suhu yang terlalu tinggi. Hal ini dikarenakan agar kontak antara pati dengan enzim lebih lama. Hasil yang didapat tidak jauh beda dengan hasil penelitian Purba (2009), dimana pada konsentrasi pati tinggi dengan suhu 40 ºC dihasilkan konsentrasi glukosa yang optimum. Menurut Purba (2009), konsentrasi glukosa meningkat sampai pada konsentrasi optimum, kemudian menurun. Hal ini disebabkan karena reaksi konversi pati menjadi glukosa dipengaruhi oleh suhu. Kenaikan suhu akan menyebabkan terjadinya proses denaturasi. Kenaikan suhu, sebelum terjadinya proses denaturasi dapat menaikkan kecepatan reaksi. Adanya dua pengaruh yang saling berlawanan ini akan menghasilkan suatu titik optimum proses (Purba, 2009). Dengan semakin besarnya
konsentrasi pati dan kenaikan suhu sebelum denaturasi, yield glukosa yang dihasilkan semakin optimum.
(a)
(b)
Gambar 4.5 Pengaruh konsentrasi pati dan suhu terhadap yield glukosa. (a) dengan metode hibrida ANN-GA, (b) dengan metode RSM (Baskar et al., 2008)
4.5 Simulasi dan Optimasi Pengaruh Konsentrasi Pati dan Waktu Hidrolisis terhadap Yield Glukosa
Gambar 4.6 menunjukkan hubungan antara parameter proses, yaitu konsentrasi pati dengan waktu terhadap yield glukosa yang dihasilkan, dimana parameter konsentrasi enzim dan suhu dibuat Konstan pada 4.5 %(w/v) dan 55ºC. Gambar 4.6(a) menunjukkan pemodelan dengan menggunakan metode ANN sedangkan Gambar 4.6(b) menunjukkan pemodelan dengan metode RSM yang telah dilakukan oleh Baskar et al (2008). Kondisi optimum proses dengan metode ANN-GA adalah pada konsentrasi pati 7.1302 %(w/v) dan waktu selama 166.0598 menit. Kondisi ini berbeda dari hasil metode RSM, dimana Baskar et al.(2008) mendapatkan kondisi optimum pada konsentrasi pati 4.5 %(w/v) dan waktu selama 120 menit.
Gambar 4.6(a) menunjukkan bahwa konsentrasi pati (6-7 %(w/v)) dan dengan waktu yang cukup lama (150-180 menit), menghasilkan yield glukosa yang tinggi (>4 mg/mL). Nilai konsentrasi pati dan waktu yang lebih rendah atau lebih tinggi dari rentang tersebut, akan dihasilkan yield glukosa yang sedikit. Semakin tinggi konsentrasi pati, maka larutan akan semakin kental dan semakin banyak amilum yang akan dipecah menjadi glukosa. Akibatnya, semakin lama waktu hidrolisa yang dibutuhkan.
02468204060800123456Konsentrasi Pati %(w/v)Suhu 0CYield Glukosa (
mg/mL)
(a)
(b)
Gambar 4.6 Pengaruh konsentrasi pati dan waktu terhadap yield glukosa. (a) dengan metode hibrida ANN-GA, (b) dengan metode RSM (Baskar et al., 2008)
4.6 Simulasi dan Optimasi Pengaruh Konsentrasi Enzim dan Suhu terhadap Yield Glukosa
Pada Gambar 4.7 menunjukkan perbandingan pengaruh konsentrasi enzim dan suhu terhadap yield glukosa dengan menggunakan metode hibrida ANN-GA dan metode RSM, dimana variable konsentrasi pati dan waktu dibuat Konstan pada 1 %(w/v) dan 120 menit. Gambar 4.7 (a) adalah gambar yang menunjukkan pemodelan dan optimasi dengan ANN-GA, sedangkan pemodelan dan optimasi dengan metode RSM (Baskar et al., 2008) ditunjukkan pada Gambar 4.7 (b).
Kondisi optimum dari metode ANN-GA adalah pada konsentrasi enzim 1.4708 %(w/v) dan suhu 40.5255ºC, sehingga menghasilkan yield glukosa optimum sebesar 6.0842 mg/mL. Sedangkan , Baskar et.al (2008) mendapatkan hasil yield glukosa optimum pada 5.17 mg/mL dengan konsentrasi enzim 1 %(w/v) dan suhu 45 ºC. Gambar 4.7(a) memperlihatkan bahwa pada konsentrasi enzim (1.2-1.5 %(w/v)) dan suhu (40-60 ºC) dihasilkan yield glukosa yang tinggi (>4.5 mg/mL). Pada reaksi enzimatik, suhu mempengaruhi kestabilan enzim. Kenaikan suhu sampai sedikit diatas suhu optimumnya dapat menyebabkan penurunan aktivitas enzim, sedangkan suhu jauh diatas suhu optimumnya enzim akan mengalami denaturasi hingga enzim kehilangan aktivitas katalitiknya (Sukandar et al., 2009). Mula-mula kenaikan suhu dapat mempercepat laju reaksi. Pada suhu optimum, kinerja enzim maksimum, untuk kemudian menurun setelah melampaui suhu optimum kerja enzim. Penurunan kinerja enzim
02468501001502002.533.544.55Konsentrasi Pati %(w/v)Waktu (menit)Yield Glukosa (mg/mL)
ini disebabkan oleh penurunan aktivitas katalitik enzim. Suhu pada saat aktivitas enzim mulai menurun kembali merupakan suhu saat protein enzim mulai terdenaturasi.
(a)
(b)
Gambar 4.7 Pengaruh konsentrasi enzim dan suhu terhadap yield glukosa. (a) dengan metode hibrida ANN-GA, (b) dengan metode RSM (Baskar et al., 2008)
4.7 Simulasi dan Optimasi Pengaruh Konsentrasi Enzim dan Waktu Hidrolisis terhadap Yield Glukosa
Pengaruh konsentrasi enzim dan waktu terhadap yield glukosa ditunjukkan pada Gambar 4.8. Konsentrasi pati dan suhu dijaga Konstan pada 4.5 %(w/v) dan suhu 55ºC. Gambar 4.8(a) menunjukkan pemodelan dan optimasi dengan metode hibrida ANN-GA, sedang Gambar 4.8(b) menunjukkan pemodelan dan optimasi dengan metode RSM.
Kondisi optimum yang didapat dari metode ANN-GA adalah pada konsentrasi enzim 1.4708 %(w/v) dan waktu 166.0598 menit, dengan yield glukosa sebesar 6.0842 mg/mL. Nilai ini jauh berbeda dengan kondisi optimum dari metode RSM (Baskar et al., 2008) adalah pada konsentrasi enzim 1 %(w/v) dan waktu 120 menit. Gambar 4.8(a) menunjukkan pada konsentrasi enzim (1.2-1.5 %(w/v)) dan waktu (100-170 menit), dihasilkan yield glukosa yang tinggi (>4.5 mg/mL). Semakin lama waktu hidrolisis, maka semakin banyak pati yang dipecah menjadi glukosa. Dan apabila konsentrasi enzim semakin tinggi hingga mencapai kondisi optimum maka aktivitas enzim dalam proses hidrolisis semakin besar. Hal ini disebabkan oleh masih adanya kemampuan enzim untuk mengubah pati menjadi glukosa. Namun, semakin lama waktu, dan bertambahnya konsentrasi enzim hingga melampaui kondisi optimum, menyebabkan yield glukosa yang dihasilkan menurun dikarenakan
0.511.5204060800246Konsentrasi Enzim %(w/v)Suhu 0CYield Glukosa (
mg/mL)
kemampuan enzim untuk mengubah pati menjadi glukosa semakin menurun (Jamilatun et al., 2004).
(a)
(b)
Gambar 4.8 Pengaruh konsentrasi enzim dan waktu terhadap yield glukosa. (a) dengan metode hibrida ANN-GA, (b) dengan metode RSM (Baskar et al., 2008)
4.8 Simulasi dan Optimasi Pengaruh Suhu dan Waktu Hidrolisis terhadap Yield Glukosa
Gambar 4.9 menunjukkan pengaruh suhu dan waku hidrolisis terhadap yield glukosa, dimana konsentrasi pati dan konsentrasi enzim dijaga Konstan pada 4.5 %(w/v) dan 1 %(w/v). Gambar 4.9(a) menunjukkan pemodelan dengan menggunakan metode ANN-GA sedang Gambar 4.9(b) menunjukkan pemodelan dengan metode RSM yang dilakukan oleh Baskar et al. (2008). Dari kedua gambar tersebut terlihat perbedaan yang cukup signifikan, dimana metode RSM hanya mampu memodelkan secara polynomial.
Kondisi optimum yang didapat dari pemodelan dan optimasi dengan metode ANN-GA adalah pada suhu 40.5255 ºC dan waktu 166.0374 menit, dimana konsentrasi pati dan enzim dijaga Konstan dihasilkan yield glukosa optimum pada 6.0842 mg/mL. Sedangkan, pemodelan dan optimasi dengan metode RSM dihasilkan pada suhu 45ºC dan waktu hidrolisis selama 120 menit. Gambar 4.9 (a) menunjukkan bahwa pada suhu (40-50ºC) dan waktu hidrolisis (150-180 menit) dihasilkan yield glukosa yang cukup tinggi (>4.5 mg/mL). Besarnya waktu hidrolisa membuat banyaknya yield glukosa yang dihasilkan, sebelum proses denaturasi enzim terjadi. Proses denaturasi terjadi ketika proses berlangsung jauh diatas suhu optimumnya.
0.511.5501001502000246Konsentrasi Enzim %(w/v)Waktu (menit)Yield Glukosa (mg/mL)
(a)
(b)
Gambar 4.9 Pengaruh suhu dan waktu terhadap yield glukosa. (a) dengan metode hibrida ANN-GA, (b) dengan metode RSM (Baskar et al., 2008)
4.9 Uji Kestabilan Simulator dan Optimasi Kondisi Operasi
Kondisi optimum yang dicapai dengan metode ANN-GA berbeda dengan metode RSM dari penelitian Baskar et.al (2008). Tabel 4.4, menunjukan variasi nilai yield glukosa optimum yang dihasilkan dari metode ANN-GA dengan R2 ≥ 0.96 yang dibandingkan dengan metode RSM (Baskar et al., 2008). Yield glukosa keseluruhan pada percobaan (Run) 1 sampai 10, menunjukkan nilai diatas nilai yield glukosa yang dihasilkan dengan metode RSM. Pemodelan dan optimasi dengan metode ANN-GA diperoleh kondisi optimum secara global, dikarenakan model ANN merupakan model yang lebih riil sesuai data percobaan. Sedangkan, metode RSM memodelkan pemodelan secara paksa menjadi model polinominal kuadratik, sehingga dihasilkan titik optimum local saja. Hal ini terbukti dari nilai koefisien regresi (R2) yang dihasilkan dari kedua metode. Metode ANN-GA mampu mencapai nilai R2 diatas 0.96, sedangkan metode RSM hanya didapat nilai R2 sebesar 0.824. Nilai ini menandakan bahwa dalam pemodelan dan optimasi dengan metode ANN-GA, hampir seluruh variabel yield glukosa terwakili dalam model. Pada percobaan ke-6, dihasilkan yield glukosa dengan R2 sebesar 0.9755, dimana hampir semua variabel yield glukosa terwakili dalam model.
Optimasi proses dengan metode ANN-GA dengan koefisien regresi, R2 sebesar 0,9755 (R2 ≥ 0.96), didapatkan pada konsentrasi pati 7.1302 % (w/v), konsentrasi enzim 1.4708 %(w/v), suhu 40,5250ºC, dan waktu hidrolisa 166.0374 menit dengan yield glukosa yang dihasilkan sebesar 6.0842 mg/mL. Sedang, kondisi optimum metode RSM adalah pada konsentrasi pati 4.5 %(w/v), konsentrasi enzim 1 %(w/v), suhu 45ºC, waktu 150 menit dengan
304050607050100150200123456Suhu 0CWaktu (menit)Yield Glukosa (mg/mL)
yield glukosa yang didapat pada 5.17 mg/mL. Kondisi optimum yang didapat dari kedua metode ini berbeda. Hal ini dikarenakan metode ANN-GA mampu mencapai nilai R2 sebesar 0.9755, yang berarti bahwa 97.55% variabel glukosa terwakili dalam model. Sedangkan metode RSM hanya mampu mencapai nilai R2 sebesar 0.824. Oleh karenanya, pemodelan dan optimasi dengan metode ANN-GA lebih akurat dan lebih cocok untuk diaplikasikan. Pemodelan dengan ANN lebih akurat, karena ANN mampu memodelkan dari hubungan non-linear dari proses yang kompleks, dimana metode RSM hanya mampu untuk memodelkan secara polynomial order kedua(Desai et al., 2008).. Perbedaan model ini akan mempengaruhi nilai optimasi yang didapat nantinya. Optimasi dengan GA dinilai lebih akurat dan tepat karena mampu menemukan titik optimum secara global.
Tabel 4.4 Randamnes metode ANN-GA (R2 ≥ 0.96) terhadap metode RSM
Run
Yield Glukosa (mg/mL)
ANN-GA
RSM (Baskar et.al, 2008)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
5.8676
6.2904
5.5459
5.8465
6.4511
6.0842
6.3743
5.5694
5.8897
6.6823
5.17
5.17
5.17
5.17
5.17
5.17
5.17
5.17
5.17
5.17
Secara grafis, pemetaan perbedaan kedua model diatas dapat dilihat pada Gambar 4.10, agar perbedaan tersebut dapat dilihat secara jelas.
Gambar 4.10 Perbandingan yield glukosa yang dihasilkan dengan metode ANN-GA (R2 ≥ 0.96) dan metode RSM
12345678910012345678RunYield Glukosa (
mg/mL) ANN-GARSM
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Metode ANN-GA merupakan metode yang efektif dalam pemodelan dan optimasi. Hal ini ditunjukkan pada penerapan ANN-GA dalam kasus hidrolisis pati menjadi glukosa. Kondisi optimum yang dicapai adalah pada konsentrasi pati 7.1302 % (w/v), konsentrasi enzim 1.4708 %(w/v), suhu 40,5250ºC, dan waktu hidrolisa 166.0374 menit dengan yield glukosa yang dihasilkan sebesar 6.0842 mg/mL. Hasil ini berbeda dengan data sekunder yang menggunakan metode RSM (Baskar et al., 2008). Metode ANN-GA mampu memodelkan dan mengoptimasi dengan koefisien regresi, R2 sebesar 0.9755. Sedangkan, metode RSM hanya mampu mencapai R2 sebesar 0.824. Hal ini dikarenakan metode ANN-GA mampu memodelkan pemodelan dari persamaan nonlinear kompleks dan mengoptimasi model tersebut secara global. Metode ANN-GA merupakan metode yang layak dikembangkan dan diterapkan untuk pemodelan dan optimasi. Pemodelan dan optimasi dengan metode ANN-GA dapat dikembangkan dan digunakan untuk memodelkan dari proses-proses kompleks hidrolisa pati menjadi glukosa, serta mendapatkan kondisi operasi yang optimal.
5.2 Saran
Dalam penelitian selanjutnya, sebaiknya dilakukan perbandingan terhadap bermacam-macam struktur model ANN sebelum melakukan pemodelan dan optimasi dengan metode ANN-GA. Hasil perbandingan tersebut akan menunjukkan struktur model ANN dengan jumlah node dalam hidden layer yang mampu menghasilkan nilai R2 yang paling optimum atau mendekati 1. Selain itu, metode ANN-GA dapat dikembangkan dan digunakan untuk memodelkan dan mengoptimasi proses-proses kompleks lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Mutairi, Nayef, Kartam, N., Koushki, P., dan Al-Mutairi, Mubarek., (2004), “Modelling dan Predicting Biological Performance of Contact Stabilization Process Using Artificial Neural Networks”, ASCE, Journal of Computing in Civil Engineering, pp. 341-349.
Baskar, G., Muthukumaran, C., Renganathan, S., (2008), “Optimization of Enzymatic Hydrolysis of Manihot Esculenta Root Starch by Immobilize α-Amylase Using Response Surface Methodology”, International Jurnal of Natural Sciences and Engineering 1:3, pp. 156-160.
Chamsart, S., Sawangwon, C., Tungkao, S., dan Waiprib, Y., (2005), “Enzymatic Hydrolysis of Cassava Starch in a Stirred Tank Lysis Reactor”, Proceeding of the 15th Thailand Chemical Engineering and Applied Chemistry, Chonburi, 28-29 Oktober 2005.
Cheng, Jin dan Li, Q.S., (2008), “Realibility Analysis of Structure Using Artificial Neural Network Based Genetic Algorithms”, Computing Methods Applied Mechanical Engineering. 197, pp.3742-3750.
Desai, Kiran M., Survase, Shrikant A., Saudagar, Parag S., Lele, S.S., dan Singhal, Rekha S. (2008), “Comparison of Artificial Neural Network (ANN) and Response Surface Metodhology (RSM) in Fermentation Media Optimizatition : Case Study of Fermentative Production of Scleroglucan”, Biochemical Engineerning Journal 41, pp. 266-273.
Edgar, Thomas F., Himmeblau, D.M. dan Landon, L.S, (2001), “Optimization of Chemical Processes”, 2nd Edition, Mc. Graw-Hill, New York.
Fujii, M. dan Kawamura, Y., (1985), “Synergistic Action of α-Amylase and Glucoamylase on Hydrolisis of Starch”, Biotechnology and Bioengineering, vol 27.
Hanai, T., Honda, H., Ohkusu, E., Ohki, T., Tohyama, H., Muramatsu, T. dan Kobayashi, T., (1999), “Application of An Artificial Neural Network and Genetic Algorithm for Determination of Process Orbits in Koji Making Process”, Journal of Bioscience and Bioengineering vol.87, No.4, pp. 507-512.
Istadi, (2006), “Catalytic Conversion of Methane and Carbon Dioxide in Conventional Fixed Bed and Dielectric Barrier Discharge Plasma Reactors”, Doctor Thesis, Universiti Teknologi Malaysia, Malaysia.
Ikhsan, D., Yulianto, M. E., Hartanti, I., (2008), “Pengembangan Bioreaktor Hidrólisis Enzimatis Untuk Produksi Bioetanol dari Biomassa Jerami Padi”, Lembaga Penelitian Universitas Diponegoro.
Jamilatun, S., Sumiyati, Y. dan Handayani, R. N., (2004), “Pengambilan Glukosa dari Tepung Biji Nangka dengan cara Hidrolisis Enzimatik Kecmbah Jagung”, Prosiding Seminar Nasional Rekayasa kimia dan Proses, pp. 1-5.
Kombong, Hermin, (2004), “Evaluasi Daya Hidrolitik Enzim Glukoamilase dari Kultur Aspergillus Niger”, Jurnal Ilmu Dasar vol. 5, no. 1, pp. 16-20.
Montana, J. David dan Davis, M., (2006), “Training Feedfoward Neural Networks Using Genetic Algorithms”, BBN System and Technologies Corp., Cambridge.
Morales, S., Álvarez, H., Sánchez, C., (2008), “Dynamic Model For The Production Of Glucose Syrup From Cassava Starch”, Food and Bioproducts Processing 86, pp. 25-30.
Nandi, S., Mukherjee, P., Tambe, S.S., Kumar, R. dan Kulkarni, B.D., (2002), “Reaction Modeling and Optimization Using Neural Networks and Genetic Algorithms: Case Study Involving TS-1-Catalyzed Hydroxylation of Benzene”, Industrial and Engineering Chemistry Research Vol. 41, No. 9, pp.2159-2169.
Omemu, A. M., Akpan, I., Bankole, M. O., dan Teniola, O. D., (2005), “Hydrolysis of Raw Tuber Starches by Amylase of Aspergillus Niger AM07 Isolated From The Soil”, Journal of Biotechnology vol. 4(1), pp. 19-25.
Purba, Elida, (2009), “Hidrolisis Pati Ubi Kayu (Manihot Esculenta) dan Pati Ubi Jalar (Impomonea batatas) menjadi Glukosa secara Cold Process dengan Acid Fungal Amilase dan Glukoamilase”, Universitas Lampung, Lampung.
Putri, Lily S. E. dan Sukandar, D., (2008), “Konversi Pati Gayong (Canna edulis Ker.) menjadi Bioetanol melalui Hidrolisis Asam dan Fermentasi”, Biodiversitas vol.9, no.2, pp. 112-116.
Rashid, R., Jamaluddin, H., Amin, Nor. A.S., (2006), “Empirical and Feed Forward Neural Networks Models of Tapioca Starch Hydrolysis”, Applied Artificial Intelligence, 20, pp.79-97.
Soeroso, L., Andayaningsih, P., Haska, N., Safitri, R. Dan Marwoto, B., (2008), “Hidrolisis Serbuk Empulur Sagu (Metroxylon Sagu, Rottb.) dengan HCl untuk Meningkatkan Efektivitas Hidrolisis Kimiawi”, Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II 2008, pp. 103-111.
Sukandar, U., Syamsuriputra, A. A., Lindawati dan Trusmiyadi, Y., (2009), “Kinerja Amilase Aspergilus Niger ITBCC L74 dalam Sakarofikasi Pati Ubi Kayu menjadi Bioethanol”, Prosiding Seminar Nasional Teknik Kimia Indonesia-SNTKI, pp. 1-8.
Virlandia, Feby, (2008), “Pembuatan Sirup Glukosa dari Pati Ubi Jalar (Impomonea batatas) dengan metode Enzimatis”.
Widianta, Ardhiles dan Deva, W.P, (2008), “Ubi Kayu (Mannihot Esculenta) Sebagai Bahan Alternatif Pengganti Bensin (Bioetanol) Yang Ramah Lingkungan”.
Widiastoety, d. dan Purbadi, (2003), “Pengaruh Bubur Ubi Kayu dan Ubi Jalar terhadap Pertumbuhan Plantlet Anggrek Dendrobium”, Jurnal Hortikultural 13(1), hal 1-6.
Wojciechowski, A.L., Nistsche, S., Pandey, A. dan Socco, C. R., (2002), “Acid and Enzymatic Hydrolysis to Recover Reducing Sugars from Cassava Bagasse : an Economic Study”, Brazilian Archives of Biology and Technology vol.45, n. 3, pp.393-400.
Yang, Won Y., Cao, W., Chung, T. dan Morris, J., (2005), “Applied Numerical Methods Using MATLAB”, John Wiley and Sons Inc., United State of America.
Yetti, M., Nazamid, B.S., Roselina, K. Dan Abdulkarin, S. M., (2007), “Improvement of Glucose Production by Raw Starch Degrading Enzyme Utilizing Acid-Treated Sago Starch as Substrate”, ASEAN Food Journal 14(2), pp. 83-90.
Yoonan, Kanlaya dan Kongkiattikajorn, J., (2004), “A Study of Optimal Conditions for Reducing Sugars Producton from Cassava Peels by Diluted Acid and Enzymes”, Kasetsart Journal (Natural Science) 38, pp. 29-35.
LAMPIRAN
LAMPIRAN A : PROGRAM MATLAB
PROGRAM MATLAB UNTUK HIDROLISA PATI MENJADI GLUKOSA
DENGAN METODE HIBRIDA ANN-GA
A.1. Program Utama Pengujian Model dan Optimasi ANN-GA
%============================================
%Pengujian Model dan Optimasi ANN-GA
%main program: ujiANN_GA.m
%funcion files: annfungsi_fcn.m;gafungsi1_fcn
%============================================
clc
clear
clf
global net
for i=1:1000
p=[-3 -2 -1 0 1 2 3 4 5 6];
t=[15 8 3 0 -1 0 3 8 15 24];
%call ann function
net=annfungsi_fcn(p,t);
y=sim(net,p);
%perform regression analysis
[m(i),b(i),r(i)]=postreg(y,t)
[t;y]
R2=r(i).^2
if (R2>=0.995)
break
end
end
%simulation 2D
plot(p,t,p,y,'o')
%==========================
%start ga
PopulationSize=20;
CrossOver=0.8;
Generation=20;
Mutation=0.05;
fitnessFunction=@gafungsi1_fcn;
%y=x.^2-2x
nvars=1;
InitRangeSet=[-3;6];
LB=-3;
UB=5;
options = gaoptimset('PopulationType','doubleVector',...
'PopulationSize',PopulationSize,...
'EliteCount',2,'CrossoverFraction',CrossOver,...
'MigrationDirection','forward','MigrationInterval',20,'MigrationFraction',0.2,...
'Generations',Generation,'TimeLimit',Inf,'FitnessLimit',-Inf,'StallGenLimit',40,'StallTimeLimit',20,...
'InitialPopulation',[],'InitialScores',[],'CreationFcn',@gacreationuniform,...
'FitnessScalingFcn',@fitscalingrank,'SelectionFcn',@selectionstochunif,...
'CrossoverFcn',@crossoverscattered,'MutationFcn',{@mutationadaptfeasible,Mutation},...
'HybridFcn',[],'Vectorize','off',...
'Display','final','OutputFcns',[],'PlotFcn',{@gaplotbestf @gaplotbestindiv});
%call ga solver
[p,fval,exitflag,output,population,scores]=ga(fitnessFunction,nvars,[],[],[],[],LB,UB,[],options)
%ga(fitnessfcn,nvars,A,b,Aeq,beq,LB,UB,nonlcon,options)
A.2. Program Utama Pemodelan dan Optimasi Hidrolisa Pati menjadi Glukosa dengan metode ANN-GA
%====================================================================
%pemodelan dan optimasi hidrolisa pati menjadi glukosa dengan ANN-GA
%main program:glucose_ann_ga.m
%function files: gluco_ann_fcn.m;gafungsi2_fcn.m
%====================================================================
clc
clear
clf
global net
for i=1:1000
p=[3 6 3 6 3 6 3 6 3 6 3 6 3 6 3 6 1.5 7.5 4.5 4.5 4.5 4.5 4.5 4.5 4.5 4.5 4.5 4.5 4.5 4.5 4.5;
0.75 0.75 1.25 1.25 0.75 0.75 1.25 1.25 0.75 0.75 1.25 1.25 0.75 0.75 1.25 1.25 1 1 0.5 1.5 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1;
45 45 45 45 65 65 65 65 45 45 45 45 65 65 65 65 55 55 55 55 35 75 55 55 55 55 55 55 55 55 55;
90 90 90 90 90 90 90 90 150 150 150 150 150 150 150 150 120 120 120 120 120 120 60 180 120 120 120 120 120 120 120];
t=[2.608 4.175 4.732 5.222 0.541 1.812 2.133 2.130 4.464 5.630 4.726 5.484 1.535 1.687 2.079 1.662 3.554 3.687 0.732 5.264 2.318 1.226 4.191 3.757 4.468 4.942 4.468 4.847 4.468 4.847 4.468];
%call ann function
t=t(1,:);
net=gluco_ann_fcn(p,t);
y=sim(net,p);
%perform regression analysis
[m(i),b(i),r(i)]=postreg(y,t)
[t;y]
R2=r(i).^2
if (R2>=0.96)
break
end
end
%3D meshc grafic
%starch concentration(x1), enzyme concentration(x2) vs glucose
x1=linspace(1.5,7.5,35);
x2=linspace(0.5,1.5,35);
x3=linspace(55,55,35);
x4=linspace(120,120,35);
figure
[X1,X2]=meshgrid(x1,x2);
tnX12=zeros(length(X2),length(X1));
for i=1:length(X2)
for j=1:length(X1)
tnX12(i,j)=sim(net,[X1(i,j);X2(i,j);55;120]);
end
end
fig_tnX12=meshc(X1,X2,tnX12);
xlabel('Konsentrasi Pati (mg/mL)','fontsize',16);
ylabel('Konsentrasi Enzim (mg/mL)','fontsize',16);
zlabel('Yield Glukosa (mg/mL)','fontsize',16);
%starch concentration (x1), temperature (x3) vs glucose
x1=linspace(1.5,7.5,35);
x2=linspace(1,1,35);
x3=linspace(35,75,35);
x4=linspace(120,120,35);
figure
[X1,X3]=meshgrid(x1,x3);
tnX13=zeros(length(X3),length(X1));
for i=1:length(X3)
for j=1:length(X1)
tnX13(i,j)=sim(net,[X1(i,j);1;X3(i,j);120]);
end
end
fig_tnX13=meshc(X1,X3,tnX13);
xlabel('Konsentrasi Pati (mg/mL)','fontsize',16);
ylabel('Suhu ^0C','fontsize',16);
zlabel('Yield Glukosa (mg/mL)','fontsize',16);
%starch concentration (x1), time (x4) vs glucose
x1=linspace(1.5,7.5,35);
x2=linspace(1,1,35);
x3=linspace(55,55,35);
x4=linspace(60,180,35);
figure
[X1,X4]=meshgrid(x1,x4);
tnX14=zeros(length(X4),length(X1));
for i=1:length(X4)
for j=1:length(X1)
tnX14(i,j)=sim(net,[X1(i,j);1;55;X4(i,j)]);
end
end
fig_tnX14=meshc(X1,X4,tnX14);
xlabel('Konsentrasi Pati (mg/mL)','fontsize',16);
ylabel('Waktu (menit)','fontsize',16);
zlabel('Yield Glukosa (mg/mL)','fontsize',16);
%enzyme concentration (x2), temperature (x3) vs glucose
x1=linspace(4.5,4.5,35);
x2=linspace(0.5,1.5,35);
x3=linspace(35,75,35);
x4=linspace(120,120,35);
figure
[X2,X3]=meshgrid(x2,x3);
tnX23=zeros(length(X3),length(X2));
for i=1:length(X3)
for j=1:length(X2)
tnX23(i,j)=sim(net,[4.5;X2(i,j);X3(i,j);120]);
end
end
fig_tnX23=meshc(X2,X3,tnX23);
xlabel('Konsentrasi Enzim (mg/mL)','fontsize',16);
ylabel('Suhu ^0C','fontsize',16);
zlabel('Yield Glukosa (mg/mL)','fontsize',16);
%enzyme concentration (x2), time (x4) vs glucose
x1=linspace(4.5,4.5,35);
x2=linspace(0.5,1.5,35);
x3=linspace(55,55,35);
x4=linspace(60,180,35);
figure
[X2,X4]=meshgrid(x2,x4);
tnX24=zeros(length(X4),length(X2));
for i=1:length(X4)
for j=1:length(X2)
tnX24(i,j)=sim(net,[4.5;X2(i,j);55;X4(i,j)]);
end
end
fig_tnX24=meshc(X2,X4,tnX24);
xlabel('Konsentrasi Enzim (mg/mL)','fontsize',16);
ylabel('Waktu (menit)','fontsize',16);
zlabel('Yield Glukosa (mg/mL)','fontsize',16);
%temperatur (x3), time (x4) vs glucose
x1=linspace(4.5,4.5,35);
x2=linspace(1,1,35);
x3=linspace(35,65,35);
x4=linspace(60,180,35);
figure
[X3,X4]=meshgrid(x3,x4);
tnX34=zeros(length(X4),length(X3));
for i=1:length(X4)
for j=1:length(X3)
tnX34(i,j)=sim(net,[4.5;1;X3(i,j);X4(i,j)]);
end
end
fig_tnX34=meshc(X3,X4,tnX34);
xlabel('Suhu ^0C','fontsize',16);
ylabel('Waktu (menit)','fontsize',16);
zlabel('Yield Glukosa (mg/mL)','fontsize',16);
%==========================
%start ga
PopulationSize=40;
CrossOver=0.8;
Generation=20;
Mutation=0.05;
fitnessFunction=@gafungsi2_fcn;
nvars=4;%number of variables
LB=[1.5;0.5;35;60];
UB=[7.5;1.5;75;180];
options = gaoptimset('PopulationType','doubleVector',...
'PopulationSize',PopulationSize,...
'EliteCount',2,'CrossoverFraction',CrossOver,...
'MigrationDirection','forward','MigrationInterval',20,'MigrationFraction',0.2,...
'Generations',Generation,'TimeLimit',Inf,'FitnessLimit',-Inf,'StallGenLimit',40,'StallTimeLimit',20,...
'InitialPopulation',[],'InitialScores',[],'CreationFcn',@gacreationuniform,...
'FitnessScalingFcn',@fitscalingrank,'SelectionFcn',@selectionstochunif,...
'CrossoverFcn',@crossoverscattered,'MutationFcn',{@mutationadaptfeasible,Mutation},...
'HybridFcn',[],'Vectorize','off',...
'Display','final','OutputFcns',[],'PlotFcn',{@gaplotbestf @gaplotbestindiv});
%call ga solver
[p,fval,exitflag,output,population,scores]=ga(fitnessFunction,nvars,[],[],[],[],LB,UB,[],options)
%ga(fitnessfcn,nvars,A,b,Aeq,beq,LB,UB,nonlcon,options)
y=sim(net,p')
A.3. Fungsi Utama ANN-GA Pengujian Model dan Optimasi
function net=annfungsi_fcn (p,t)
net=newff(p,t,[5 3 1],{'tansig','tansig','purelin'},'trainlm');
net = init(net);
net.performFcn='mse';
net.trainParam.epochs=100;
net.trainParam.show=2;
net.trainParam.goal=0.001;
net=train (net,p,t);
function at=gafungsi1_fcn(x)
global net
x=x';
y=sim(net,x);
at=y;
A.4. Fungsi Utama ANN-GA Hidrolisa Pati menjadi Glukosa
function net=gluco_ann_fcn (p,t)
net=newff(p,t,[10 15 1],{'tansig','tansig','purelin'},'trainlm');
net = init(net);
net.performFcn='mse';
net.trainParam.epochs=100;
net.trainParam.show=2;
net.trainParam.goal=0.001;
net=train(net,p,t);
function at=gafungsi2_fcn(p)
global net
p=p';
y=sim(net,p);
y=y*(-1);
% b=[y(1,:);y(2,:)];
at=y;
A.5. Program Utama Grafik Pareto ANN-GA
%Grafik Pareto randamnes metode ANN-GA(gambar 4.10)
%Y=[ANN-GA RSM]
Y=[5.8876 5.17
6.2904 5.17
5.5459 5.17
5.8465 5.17
6.4511 5.17
6.0842 5.17
6.3743 5.17
5.5694 5.17
5.8997 5.17
6.6823 5.17];
bar(Y)
xlabel('Run','fontsize',16);
ylabel('Yield Glukosa (mg/mL)','fontsize',16);
legend('ANN-GA','RSM','fontsize',14);
LAMPIRAN B : ARTIKEL
PEMODELAN DAN OPTIMASI HIDROLISA PATI MENJADI GLUKOSA DENGAN METODE ARTIFICIAL NEURAL NETWORK-GENETIC ALGORITHM (ANN-GA)
Dian Rahmayanti (L2C308009)
Jurusan Teknik Kimia , Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro
Jl. Prof. Sudharto, Tembalang, Semarang, 50239, Telp/Fax: (024)7460058
Pembimbing: Dr. Istadi, ST, MT
Abstrak
Metode pemodelan dan optimasi yang umumnya digunakan, masih belum mampu untuk memodelkan dan mengoptimasi dari proses-proses kimia nonlinear yang kompleks. Metode hibrida Artificial Neural Network-Genetic Algorithm ( ANN-GA) dinilai efektif untuk menyelesaikan permasalahan tersebut dan mendapatkan kondisi optimum secara global. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan permodelan dan optimasi dengan metode hibrida ANN-GA, yang diterapkan pada kasus hidrolisa pati menjadi glukosa. Langkah awal dari hibrida ini adalah mengembangkan pemodelan proses dengan Artificial Neural Network (ANN). Selanjutnya, input pada model ANN dioptimasi dengan menggunakan teknik Genetic Algorithm (GA), sehingga didapatkan respon (output) yang optimal dari proses. Kondisi optimum yang dicapai dengan metode ANN-GA adalah pada konsentrasi pati 7.1302 % (w/v), konsentrasi enzim 1.4708 %(w/v), suhu 40,5250ºC, dan waktu hidrolisa 166.0374 menit dengan yield glukosa yang dihasilkan sebesar 6.0842 mg/mL. Hasil ini berbeda dengan data sekunder (Baskar et al., 2008) yang menggunakan metode RSM. Hal ini dikarenakan metode ANN-GA mampu mencapai nilai R2 sebesar 0.9755. Sedangkan metode RSM hanya mampu mencapai nilai R2 sebesar 0.824. Pemodelan dan optimasi dengan metode ANN-GA dapat dikembangkan dan digunakan untuk memodelkan dari proses-proses kompleks hidrolisa pati menjadi glukosa, serta mendapatkan kondisi operasi yang optimal.
Kata kunci: ANN-GA; hidrolisa; pemodelan dan optimasi; yield glukosa
Abstract
Modeling and optimization methods are commonly used, still not able to model and optimize the complex chemical processes non-linear. Hybrid method of Artificial Neural Network-Genetic Algorithm (ANN-GA) is considered as an effective method for resolving these problems and obtain optimum conditions globally. The aim of this study is to develop a modeling and optimization with ANN-GA methods, which applied in process of making glucose from starch hydrolysis. The ANN-GA stategy consists of two steps. In the first step, an ANN-based prosess model is developed. Therefore, the input at ANN model will be optimized using GA technique. The optimal values of starch concentration, enzyme concentration, temperature and time with ANN-GA method were 7.1302 % (w/v), 1.4708 %(w/v), 40.5250ºC, and 166.0374 min respectively with predicted glucose yield of 6.0842 mg/mL. These result differed from the secondary data (Baskar et al., 2008) which were used RSM. It was because R2 values of ANN-GA method was 0.9755. While RSM method was only able to achieved value of R2 for 0.842. Modeling and optimization with the GA-ANN can be developed and used to obtain the model in starch hydrolysis into glucose and the optimal operating conditions simultaneouosly.
Key Words : ANN-GA; hydrolysis; modeling and optimization; glucose yield
1. Pendahuluan
Pati atau amilum merupakan karbohidrat kompleks yang dihasilkan oleh tumbuhan, dimana didalamnya terkandung kelebihan glukosa (produk fotosintesis). Ubi kayu atau singkong, mengandung karbohidrat yang
cukup tinggi yaitu sekitar 35.3% per 100 gr (Widiastoety dan Purbadi, 2003). Oleh karenanya singkong dapat
digunakan sebagai bahan dasar dalam pembuatan glukosa melalui proses hidrolisa pati. Hidrolisa pati merupakan
proses pemecahan molekul amilum menjadi bagian-bagian penyusunnya, seperti glukosa (Purba, 2009).
Pemodelan untuk proses kimia dapat dilakukan dengan pendekatan phenemenological (first principles)
atau dengan pendekatan empirical (Istadi, 2006). Umumnya, permodelan untuk proses dikembangkan dengan
menggunakan pendekatan phenomenological. Pengembangan dari permodelan proses dengan phenemenological
ini memiliki banyak kesulitan dalam prakteknya dimana perpindahan massa, momentum, energi, dan beberapa
prinsip teknik kimia lainnya dipertimbangkan dalam model.. Oleh karena itu, diperlukan mencari pendekatan
alternatif dari pemodelan proses ini. Akhir-akhir ini, Artificial Neural Network (ANN) telah muncul sebagai alat
yang menarik untuk pemodelan proses yang kompleks. Kekuatan dari ANN adalah struktur yang umum dan
memiliki kemampuan untuk mempelajari dari data historikalnya (Desai et al., 2008).
Dalam beberapa tahun terakhir, Genetic Algorithm (GA) termasuk kelompok optimasi stochastic, yang
telah digunakan untuk menyelesaikan persoalan dengan baik dalam berbagai ruang lingkup. Kelebihan GA
dibandingakan optimasi dengan metode diferensial adalah GA dapat digunakan untuk menentukan kondisi
optimum tanpa perlu mendiferensialkan data terlebih dahulu. Sehingga untuk data yang sangat kompleks,
optimasinya dapat diselesaikan dengan mudah. Metode diferensial tidak bisa digunakan bila data persamaan
yang didapat adalah data yang kompleks, karena barangkali hanya diperoleh titik optimum lokal saja bukan titik
optimum yang global.
Beberapa penelitian tentang proses hidrolisa pati menjadi glukosa telah banyak dilakukan. Pada proses
hidrolisa pati secara enzimatik (Baskar, 2008; Chamsart et al.,2006; Morales et al., 2008; Wojciechowski et al.,
2002), proses hidrolisa pati secara asam (Putri dan Sukandar, 2008; Soeroso et al., 2008; Yoonan dan
Kongkiattikajorn, 2004), dan proses hidrolisa asam dan enzimatik (Yetti et al., 2007), masih menggunakan
metode pemodelan dan optimasi secara grafis dan beberapa menggunakan metode RSM. Sementara itu, metode
pemodelan dan optimasi Artificial Neural Network-Genetic Algorithm (ANN-GA) telah banyak digunakan
secara luas, seperti dalam proses pembuatan koji (Hanai et al., 1999), reaksi hidroksilasi benzena (Nandi et al.,
2002) dan desain casting campuran Al-Si (Anijdan et al., 2004). Metode ANN-GA telah berhasil dalam
memodelkan dan optimasi sehingga dihasilkan hasil optimum secara global. Oleh karenanya, metode pemodelan
dan optimasi dengan metode ANN-GA potensial untuk diaplikasikan pada proses hidrolisa pati menjadi glukosa.
Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan pemodelan dan optimasi proses hidrolisa pati menjadi
glukosa dengan metode hibrida ANN-GA. Parameter-paremeter dalam proses hidrolisa akan dimodelkan
dengan metode ANN, selanjutnya model ANN tersebut dioptimasi dengan GA hingga mendapatkan kondisi
optimum secara global.
2. Pengembangan Model
Studi Kasus Hidrolisa Pati menjadi Glukosa
Data yang digunakan adalah data sekunder yang didapat dari penelitian Baskar et al. (2008). Dalam
penelitian Baskar et al. (2008), pati berasal dari singkong atau ubi kayu. Pati singkong ini kemudian dihidrolisa
dengan bantuan enzim α-amylase hingga menjadi glukosa. Konsentrasi pati, konsentrasi enzim, suhu, waktu
hidrolisa adalah variabel independent yang digunakan dalam penelitian, sedang variabel dependent adalah yield
glukosa. Hubungan antara keempat variabel independent dengan yield glukosa yang dihasilkan akan dimodelkan
dan dioptimasi dengan metode ANN-GA.
Pengembangan Algorithma Permodelan dengan ANN
Secara umum, empat langkah yang dilakukan dalam pemodelan adalah memasukkan data yang akan
digunakan dalam pelatihan, menciptakan jejaring dari objek (lapisan input, hidden dan output), training jejaring
dan mensimulasi respon jejaring terhadap input. Jaringan neural akan disesuaikan atau dilatih, sehingga
partikular input akan membawa ke spesifik target output. Gambar 1. merupakan diagram alir dari metode ANN.
Memasukkan data input dan output
Membuat jaringan (input, hidden, output)
Training jaringan
Membandingkan hasil dengan target
MSE < 0,0001
?
Selesai
yes
no
Gambar 1. Diagram alir pemodelan dengan metode ANN
Pengembangan Algorithma Hibrida ANN-GA untuk Permodelan dan Optimasi
Pemodelan dan optimasi dengan ANN-GA diterapkan dalam proses studi kasus hidrolisa pati menjadi glukosa. Gambar 2, menunjukakan tahapan yang dilakukan dalam pemodelan dan optimasi ANN-GA.
Gambar 2. Diagram Alir pemodelan dan optimasi dengan hibrida ANN-GA
3. Hasil dan Pembahasan
Kajian numerik model dan optimasi ANN-GA
Model ANN yang digunakan mempunyai struktur 4-5-3-1. Struktur ini menandakan bahwa model ANN mempunyai 4 input, 5 hidden layers lapisan pertama, 3 hidden layers lapisan kedua, dan 1 output. Tabel 1, menunjukkan hubungan antara input (konsentrasi pati, konsentrasi enzim, suhu dan waktu) dengan output (yield glukosa) yang akan digunakan untuk training model ANN dan dioptimasi dengan metode ANN-GA.
Menentukan parent berdasarkan nilai skala dari fitness dengan memanfaatkan fungsi seleksi
Membuat populasi secara acak dari individu Npop
 Normalisasi vector xj dengan range [-1 1]
 Mensimulasikan normalisasi xj kedalam model ANN untuk menentukan output vector yj , dimana yj=f(xj,W.b)
 Re-transform vector output yj ke dalam nilai yang sebenarnya
 M engevaluasi setiap individu pada populasi dengan menghitung fitness individu ke –j menggunakan yj
 Menentukan skala dari fitness sehingga sesuai dari range
 Spesifik data input dan output untuk training permodelan ANN
 Membuat jaringan (lapisan input, hidden, dan output)
 Normalisasi data dengan jarak [-1 1]
 Melatih (train) jaringan menggunakan normalisasi data input dan output
 Mengatur indeks generasi, Gen=0
 Mengatur jumlah populasi, Npop
 Mengatur jumlah variabel bebas, nvars
 Reproduksi children dari parent tersebut. Metode yang dapat digunakan adalah elite, crossover dan mutasi
 Mengatur jumlah elite, kemungkinan dari crossover dan mutasi
 Membuat children dengan generasi baru dari crossover dan mutasi
 Menukar tempat antara children dari populasi untuk membentuk generasi selanjutnya
 Memperbaharui indeks generasi (Gen =Gen+1)
Gen>Genm
?
Peringkat teratas dari children adalah titik optimal, xm
no
yes
Tabel 1. Hubungan konsentrasi pati, konsentrasi enzim, suhu, waktu terhadap yield glukosa (Baskar et al., 2008)
Parameter Proses
Yield Glukosa
(mg/mL)
Konsentrasi Pati % (w/v)
Konsentrasi Enzim % (w/v)
Suhu 0C
Waktu, menit
3
6
3
6
3
6
3
6
3
6
3
6
3
6
3
6
1.5
7.5
4.5
4.5
4.5
4.5
4.5
4.5
4.5
4.5
4.5
4.5
4.5
4.5
4.5
0.75
0.75
1.25
1.25
0.75
0.75
1.25
1.25
0.75
0.75
1.25
1.25
0.75
0.75
1.25
1.25
1
1
0.5
1.5
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
45
45
45
45
65
65
65
65
45
45
45
45
65
65
65
65
55
55
55
55
35
75
55
55
55
55
55
55
55
55
55
90
90
90
90
90
90
90
90
150
150
150
150
150
150
150
150
120
120
120
120
120
120
60
180
120
120
120
120
120
120
120
2.608
4.175
4.732
5.222
0.541
1.812
2.133
2.130
4.464
5.630
4.726
5.484
1.535
1.687
2.079
1.662
3.554
3.687
0.732
5.264
2.318
1.226
4.191
3.757
4.468
4.942
4.468
4.847
4.468
4.847
4.468
Simulasi dan Optimasi Pengaruh Konsentrasi Pati dan Konsentrasi Enzim terhadap Yield Glukosa
Gambar 3. menunjukkan hubungan antara parameter proses, yaitu konsentrasi pati dengan konsentrasi enzim terhadap yield glukosa yang dihasilkan, dimana parameter suhu dan waktu dibuat konstan pada 55ºC dan 120 menit.
(a)
(b)
Gambar 3. Pengaruh konsentrasi pati dan konsentrasi enzim terhadap yield glukosa. (a) dengan metode hibrida ANN-GA, (b) dengan metode RSM (Baskar et al., 2008)
Gambar 3(a) merupakan hasil pemodelan menggunakan metode hibrida ANN-GA, sedangkan Gambar 3(b) menggunakan metode RSM (Baskar et al., 2008). Gambar 3(a) memperlihatkan konsentrasi pati pada rentang 6-7.5 %(w/v), dan konsentrasi enzim pada rentang 1-1.5 %(w/v), yield glukosa yang dihasilkan tinggi 0
2
4
6
8
0.5
1
1.5
-2
0
2
4
6
Konsentrasi Pati %(w/v) Konsentrasi Enzim %(w/v)
Yield Glukosa (mg/mL)
(>4.5 mg/mL). Nilai konsentrasi pati dan konsentrasi enzim yang lebih rendah atau tinggi dari rentang tersebut, dihasilkan yield glukosa yang sedikit. Hal ini dikarenakan kondisi optimum dicapai pada konsentrasi pati 7.1302 % (w/v) dan konsentrasi enzim 1.4708 %(w/v), dimana suhu dan waktu dibuat konstan pada 55ºC dan 120 menit. Laju pembentukan produk meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi substrat hingga dicapai laju reaksi maksimum untuk kemudian turun kembali mulai harga konsentrasi substrat tertentu. Semakin banyak enzim, sampai batas tertentu, maka semakin banyak pula substrat (pati) yang terkonversi (Sukandar et al., 2009).
Simulasi dan Optimasi Pengaruh Konsentrasi Pati dan Suhu terhadap Yield Glukosa
Gambar 4. menunjukkan hubungan antara parameter proses, yaitu konsentrasi pati dengan suhu terhadap yield glukosa dengan metode ANN-GA dan RSM , dimana parameter konsentrasi enzim dan waktu dibuat konstan pada 1 %(w/v) dan 120 menit. Kondisi optimum dengan metode ANN-GA adalah pada konsentrasi pati 7.1302 %(w/v) dan suhu 40.5250 ºC, dihasilkan yield glukosa sebesar 6.0842 mg/mL. Pada Gambar 4(a), menunjukkan bahwa konsentrasi pati (6-7.5 %(w/v)) dan pada suhu rendah (40-60ºC), memghasilkan yield glukosa yang tinggi (>4.5 mg/mL). Hasil yang didapat tidak jauh beda dengan hasil penelitian Purba (2009), dimana pada konsentrasi pati tinggi dengan suhu 40 ºC dihasilkan konsentrasi glukosa yang optimum. Menurut Purba (2009), konsentrasi glukosa meningkat sampai pada konsentrasi optimum, kemudian menurun. Hal ini disebabkan karena reaksi konversi pati menjadi glukosa dipengaruhi oleh suhu. Kenaikan suhu akan menyebabkan terjadinya proses denaturasi. Kenaikan suhu, sebelum terjadinya proses denaturasi dapat menaikkan kecepatan reaksi. Adanya dua pengaruh yang saling berlawanan ini akan menghasilkan suatu titik optimum proses.
(a)
(b)
Gambar 4. Pengaruh konsentrasi pati dan suhu terhadap yield glukosa. (a) dengan metode hibrida ANN-GA, (b) dengan metode RSM (Baskar et al., 2008)
Simulasi dan Optimasi Pengaruh Konsentrasi Pati dan Waktu terhadap Yield Glukosa
Gambar 5 menunjukkan hubungan antara parameter proses, yaitu konsentrasi pati dengan waktu terhadap yield glukosa, dimana parameter konsentrasi enzim dan suhu dibuat konstan pada 4.5 %(w/v) dan 55ºC.
(a)
(b)
Gambar 5. Pengaruh konsentrasi pati dan waktu terhadap yield glukosa. (a) dengan metode hibrida ANN-GA, (b) dengan metode RSM (Baskar et al., 2008)
Gambar 5(a) menunjukkan pemodelan dengan menggunakan metode ANN sedangkan Gambar 5(b) menunjukkan pemodelan dengan metode RSM yang telah dilakukan oleh Baskar et al (2008). Kondisi optimum proses dengan metode ANN-GA adalah pada konsentrasi pati 7.1302 %(w/v) dan waktu selama 166.0598 menit.
0
2
4
6
8
20
40
60
80
0
1
2
3
4
5
6
Konsentrasi Pati %(w/v) Suhu 0C
Yield Glukosa (mg/mL)
0
2
4
6
8
50
100
150
200
2.5
3
3.5
4
4.5
5
Konsentrasi Pati %(w/v) Waktu (menit)
Yield Glukosa (mg/mL)
Gambar 5(a) menunjukkan bahwa konsentrasi pati (6-7 %(w/v)) dan dengan waktu yang cukup lama (150-180 menit), menghasilkan yield glukosa yang tinggi (>4 mg/mL). Nilai konsentrasi pati dan waktu yang lebih rendah atau lebih tinggi dari rentang tersebut, akan dihasilkan yield glukosa yang sedikit. Semakin tinggi konsentrasi pati, maka larutan akan semakin kental dan semakin banyak amilum yang akan dipecah menjadi glukosa. Akibatnya, semakin lama waktu hidrolisa yang dibutuhkan.
Simulasi dan Optimasi Pengaruh Konsentrasi Enzim dan Suhu terhadap Yield Glukosa
Pada Gambar 6. menunjukkan perbandingan pengaruh konsentrasi enzim dan suhu terhadap yield glukosa dengan menggunakan metode hibrida ANN-GA dan metode RSM, dimana konsentrasi pati dan waktu dibuat konstan pada 1 %(w/v) dan 120 menit. Gambar 6(a) adalah gambar yang menunjukkan pemodelan dan optimasi dengan ANN-GA, sedangkan pemodelan dan optimasi dengan metode RSM (Baskar et al., 2008) ditunjukkan pada Gambar 6(b).Kondisi optimum dari metode ANN-GA adalah pada konsentrasi enzim 1.4708 %(w/v) dan suhu 40.5255ºC, sehingga menghasilkan yield glukosa optimum sebesar 6.0842 mg/mL. Gambar 6(a) memperlihatkan bahwa pada konsentrasi enzim (1.2-1.5 %(w/v)) dan suhu (40-60 ºC) dihasilkan yield glukosa yang tinggi (>4.5 mg/mL). Pada reaksi enzimatik, suhu mempengaruhi kestabilan enzim. Kenaikan suhu sampai sedikit diatas suhu optimumnya dapat menyebabkan penurunan aktivitas enzim, sedangkan suhu jauh diatas suhu optimumnya enzim akan mengalami denaturasi hingga enzim kehilangan aktivitas katalitiknya (Sukandar et al., 2009).
(a)
(b)
Gambar 6. Pengaruh konsentrasi enzim dan suhu terhadap yield glukosa. (a) dengan metode hibrida ANN-GA, (b) dengan metode RSM (Baskar et al., 2008)
Simulasi dan Optimasi Pengaruh Konsentrasi Enzim dan Waktu terhadap Yield Glukosa
Pengaruh konsentrasi enzim dan waktu terhadap yield glukosa ditunjukkan pada Gambar 7. Konsentrasi pati dan suhu dijaga konstan pada 4.5 %(w/v) dan suhu 55ºC.
(a)
(b)
Gambar 7 Pe.ngaruh konsentrasi enzim dan waktu terhadap yield glukosa. (a) dengan metode hibrida ANN-GA, (b) dengan metode RSM (Baskar et al., 2008)
Gambar 7(a) menunjukkan pemodelan dan optimasi dengan metode hibrida ANN-GA, sedang Gambar 7(b) menggunakan metode RSM. Kondisi optimum yang didapat dari metode ANN-GA adalah pada konsentrasi enzim 1.4708 %(w/v) dan waktu 166.0598 menit, dengan yield glukosa sebesar 6.0842 mg/mL. Gambar 7(a) menunjukkan pada konsentrasi enzim (1.2-1.5 %(w/v)) dan waktu (100-170 menit), dihasilkan yield glukosa yang tinggi (>4.5 mg/mL). Semakin lama waktu hidrolisis, maka semakin banyak pati yang dipecah menjadi glukosa. Apabila konsentrasi enzim semakin tinggi hingga mencapai kondisi optimum maka aktivitas enzim 0.5
1
1.5
20
40
60
80
0
2
4
6
Konsentrasi Enzim %(w/v) Suhu 0C
Yield Glukosa (mg/mL)
0.5
1
1.5
50
100
150
200
0
2
4
6
Konsentrasi Enzim %(w/v) Waktu (menit)
Yield Glukosa (mg/mL)
dalam proses hidrolisis semakin besar. Namun, semakin lama waktu, dan bertambahnya konsentrasi enzim hingga melampaui kondisi optimum, menyebabkan yield glukosa yang dihasilkan menurun dikarenakan kemampuan enzim untuk mengubah pati menjadi glukosa semakin menurun (Jamilatun et al., 2004).
Simulasi dan Optimasi Pengaruh Suhu dan Waktu terhadap Yield Glukosa
Gambar 8. menunjukkan pengaruh suhu dan waku hidrolisis terhadap yield glukosa dengan metode ANN-GA dan RSM (Baskar et al.,2008), dimana konsentrasi pati dan konsentrasi enzim dijaga konstan pada 4.5 %(w/v) dan 1 %(w/v). Dari kedua gambar tersebut terlihat perbedaan yang cukup signifikan, dimana metode RSM hanya mampu memodelkan secara polynomial. Kondisi optimum yang didapat dari pemodelan dan optimasi dengan metode ANN-GA adalah pada suhu 40.5255 ºC dan waktu 166.0374 menit, dimana konsentrasi pati dan enzim dijaga konstan dihasilkan yield glukosa optimum pada 6.0842 mg/mL. Gambar 8 (a) menunjukkan bahwa pada suhu (40-50ºC) dan waktu hidrolisis (150-180 menit) dihasilkan yield glukosa yang cukup tinggi (>4.5 mg/mL). Besarnya waktu hidrolisa membuat banyaknya yield glukosa yang dihasilkan, sebelum proses denaturasi enzim terjadi. Proses denaturasi terjadi ketika proses berlangsung jauh diatas suhu optimumnya.
(a)
(b)
Gambar 8. Pengaruh suhu dan waktu terhadap yield glukosa. (a) dengan metode hibrida ANN-GA, (b) dengan metode RSM (Baskar et al., 2008)
Uji Kestabilan Simulator dan Optimasi Kondisi Operasi
Kondisi optimum yang dicapai dengan metode ANN-GA berbeda dengan metode RSM dari penelitian Baskar et.al (2008). Gambar 9. menunjukan variasi nilai yield glukosa optimum yang dihasilkan dari metode ANN-GA dengan R2 ≥ 0.96 yang dibandingkan dengan metode RSM (Baskar et al., 2008). Yield glukosa keseluruhan pada percobaan (Run) 1 sampai 10, menunjukkan nilai diatas nilai yield glukosa yang dihasilkan dengan metode RSM. Pemodelan dan optimasi dengan metode ANN-GA diperoleh kondisi optimum secara global, dikarenakan model ANN merupakan model yang lebih riil sesuai data percobaan. Sedangkan, metode RSM memodelkan pemodelan secara paksa menjadi model polinominal kuadratik, sehingga dihasilkan titik optimum local saja. Hal ini terbukti dari nilai koefisien regresi (R2) yang dihasilkan dari kedua metode. Metode ANN-GA mampu mencapai nilai R2 diatas 0.96, sedangkan metode RSM hanya didapat nilai R2 sebesar 0.824. Nilai ini menandakan bahwa dalam pemodelan dan optimasi dengan metode ANN-GA, hampir seluruh variabel yield glukosa terwakili dalam model. Pada percobaan ke-6, dihasilkan yield glukosa dengan R2 sebesar 0.9755, dimana hampir semua variabel yield glukosa terwakili dalam model.
Optimasi proses dengan metode ANN-GA dengan koefisien regresi, R2 sebesar 0,9755 (R2 ≥ 0.96), didapatkan pada konsentrasi pati 7.1302 % (w/v), konsentrasi enzim 1.4708 %(w/v), suhu 40,5250ºC, dan waktu hidrolisa 166.0374 menit dengan yield glukosa yang dihasilkan sebesar 6.0842 mg/mL. Sedang, kondisi optimum metode RSM adalah pada konsentrasi pati 4.5 %(w/v), konsentrasi enzim 1 %(w/v), suhu 45ºC, waktu 150 menit dengan yield glukosa yang didapat pada 5.17 mg/mL. Kondisi optimum yang didapat dari kedua metode ini berbeda. Hal ini dikarenakan metode ANN-GA mampu mencapai nilai R2 sebesar 0.9755, yang berarti bahwa 97.55% variabel glukosa terwakili dalam model. Sedangkan metode RSM hanya mampu mencapai nilai R2 sebesar 0.824. Oleh karenanya, pemodelan dan optimasi dengan metode ANN-GA lebih akurat dan lebih cocok untuk diaplikasikan. Pemodelan dengan ANN lebih akurat, karena ANN mampu memodelkan dari hubungan non-linear dari proses yang kompleks, dimana metode RSM hanya mampu untuk memodelkan secara polynomial order kedua(Desai et al., 2008).. Perbedaan model ini akan mempengaruhi nilai optimasi yang didapat nantinya. Optimasi dengan GA dinilai lebih akurat dan tepat karena mampu menemukan titik optimum secara global. 30
40
50
60
70
50
100
150
200
1
2
3
4
5
6
Suhu 0C
Waktu (menit)
Yield Glukosa (mg/mL)
Gambar 9. Perbandingan yield glukosa yang dihasilkan dengan metode ANN-GA (R2 ≥ 0.96) dan metode RSM
4. Kesimpulan
Pada pemodelan dan optimasi dengan ANN-GA, kondisi optimum yang dicapai adalah pada konsentrasi pati 7.1302 % (w/v), konsentrasi enzim 1.4708 %(w/v), suhu 40,5250ºC, dan waktu hidrolisa 166.0374 menit dengan yield glukosa yang dihasilkan sebesar 6.0842 mg/mL. Hasil ini berbeda dengan data sekunder yang menggunakan metode RSM (Baskar et al., 2008). Metode ANN-GA mampu memodelkan dan mengoptimasi dengan koefisien regresi (R2) sebesar 0.9755, sedangkan, metode RSM hanya mampu mencapai R2 sebesar 0.824. Hal ini dikarenakan metode ANN-GA mampu memodelkan pemodelan dari persamaan nonlinear kompleks dan mengoptimasi model tersebut secara global. Pemodelan dan optimasi dengan metode ANN-GA dapat dikembangkan dan digunakan untuk memodelkan dari proses-proses kompleks lainnya, serta mendapatkan kondisi operasi yang optimal.
Daftar Pustaka
Anijdan, S. H. M., Bahrami,A., Hosseini, H. R. M. dan Shafyei, A., (2005), “ Using Genetic Algorithm and Artificial neural Network Analyses to Design an Al-Si Casting Alloy of Minimum Porosity”, Material and Design Journal, pp. 1-5.
Al-Mutairi, Nayef, Kartam, N., Koushki, P., dan Al-Mutairi, Mubarek., (2004), “Modelling dan Predicting Biological Performance of Contact Stabilization Process Using Artificial Neural Networks”, ASCE Journal of Computing in Civil Engineering, pp. 341-349.
Baskar, G., Muthukumaran, C., Renganathan, S., (2008), “Optimization of Enzymatic Hydrolysis of Manihot Esculenta Root Starch by Immobilize α-Amylase Using Response Surface Methodology”, International Jurnal of Natural Sciences and Engineering 1:3, pp. 156-160.
Chamsart, S., Sawangwon, C., Tungkao, S., dan Waiprib, Y., (2006), “Enzymatic Hydrolysis of Cassava Starch in a Stirred Tank Lysis Reactor”, Proceeding of the 15th Thailand Chemical Engineering and Applied Chemistry, Chonburi, 28-29 Oktober 2005.
Cheng, Jin dan Li, Q.S., (2008), “Realibility Analysis of Structure Using Artificial Neural Network Based Genetic Algorithms”, Computing Methods Applied Mechanical Engineering. 197, pp.3742-3750.
Desai, Kiran M., Survase, Shrikant A., Saudagar, Parag S., Lele, S.S., dan Singhal, Rekha S. (2008), “Comparison of Artificial Neural Network (ANN) and Response Surface Metodhology (RSM) in Fermentation Media Optimizatition : Case Study of Fermentative Production of Scleroglucan”, Biochemical Engineerning Journal 41, pp. 266-273.
Edgar, Thomas F., Himmeblau, D.M. dan Landon, L.S, (2001), “Optimization of Chemical Processes”, 2nd Edition, Mc. Graw-Hill, New York.
Fujii, M. dan Kawamura, Y., (1985), “Synergistic Action of α-Amylase and Glucoamylase on Hydrolisis of Starch”, Biotechnology and Bioengineering, vol 27.
Hanai, T., Honda, H., Ohkusu, E., Ohki, T., Tohyama, H., Muramatsu, T. dan Kobayashi, T., (1999), “Application of An Artificial Neural Network and Genetic Algorithm for Determination of Process Orbits in Koji Making Process”, Journal of Bioscience and Bioengineering vol.87, No.4, pp. 507-512.
Istadi, (2006), “Catalytic Conversion of Methane and Carbon Dioxide in Conventional Fixed Bed and Dielectric Barrier Discharge Plasma Reactors”, PhD Thesis, Universiti Teknologi Malaysia, Malaysia. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
0
1
2
3
4
5
6
7
8
Run
Yield Glukosa (mg/mL)
ANN-GA
RSM
Jamilatun, S., Sumiyati, Y. dan Handayani, R. N., (2004), “Pengambilan Glukosa dari Tepung Biji Nangka dengan cara Hidrolisis Enzimatik Kecmbah Jagung”, Prosiding Seminar Nasional Rekayasa kimia dan Proses, pp. 1-5.
Kombong, Hermin, (2004), “Evaluasi Daya Hidrolitik Enzim Glukoamilase dari Kultur Aspergillus Niger”, Jurnal Ilmu Dasar vol. 5, no. 1, pp. 16-20.
Montana, J. David dan Davis, M., (2006), “Training Feedfoward Neural Networks Using Genetic Algorithms”, BBN System and Technologies Corp., Cambridge.
Morales, S., Álvarez, H., Sánchez, C., (2008), “Dynamic Model For The Production Of Glucose Syrup From Cassava Starch”, Food and Bioproducts Processing 86, pp. 25-30.
Nandi, S., Mukherjee, P., Tambe, S.S., Kumar, R. dan Kulkarni, B.D., (2002), “Reaction Modeling and Optimization Using Neural Networks and Genetic Algorithms: Case Study Involving TS-1-Catalyzed Hydroxylation of Benzene”, Industrial and Engineering Chemistry Research Vol. 41, No. 9, pp.2159-2169.
Omemu, A. M., Akpan, I., Bankole, M. O., dan Teniola, O. D., (2005), “Hydrolysis of Raw Tuber Starches by Amylase of Aspergillus Niger AM07 Isolated From The Soil”, Journal of Biotechnology vol. 4(1), pp. 19-25.
Purba, Elida, (2009), “Hidrolisis Pati Ubi Kayu (Manihot Esculenta) dan Pati Ubi Jalar (Impomonea batatas) menjadi Glukosa secara Cold Process dengan Acid Fungal Amilase dan Glukoamilase”, Universitas Lampung, Lampung.
Putri, Lily S. E. dan Sukandar, D., (2008), “Konversi Pati Gayong (Canna edulis Ker.) menjadi Bioetanol melalui Hidrolisis Asam dan Fermentasi”, Biodiversitas vol.9, no.2, pp. 112-116.
Rashid, R., Jamaluddin, H., Amin, Nor. A.S., (2006), “Empirical and Feed Forward Neural Networks Models of Tapioca Starch Hydrolysis”, Applied Artificial Intelligence, 20, pp.79-97.
Soeroso, L., Andayaningsih, P., Haska, N., Safitri, R. Dan Marwoto, B., (2008), “Hidrolisis Serbuk Empulur Sagu (Metroxylon Sagu, Rottb.) dengan HCl untuk Meningkatkan Efektivitas Hidrolisis Kimiawi”, Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II 2008, pp. 103-111.
Sukandar, U., Syamsuriputra, A. A., Lindawati dan Trusmiyadi, Y., (2009), “Kinerja Amilase Aspergilus Niger ITBCC L74 dalam Sakarofikasi Pati Ubi Kayu menjadi Bioethanol”, Prosiding Seminar Nasional Teknik Kimia Indonesia-SNTKI, pp. 1-8.
Virlandia, Feby, (2008), “Pembuatan Sirup Glukosa dari Pati Ubi Jalar (Impomonea batatas) dengan metode Enzimatis”.
Widiastoety, d. dan Purbadi, (2003), “Pengaruh Bubur Ubi Kayu dan Ubi Jalar terhadap Pertumbuhan Plantlet Anggrek Dendrobium”, Jurnal Hortikultural 13(1), hal 1-6.
Wojciechowski, A.L., Nistsche, S., Pandey, A. dan Socco, C. R., (2002), “Acid and Enzymatic Hydrolysis to Recover Reducing Sugars from Cassava Bagasse : an Economic Study”, Brazilian Archives of Biology and Technology vol.45, n. 3, pp.393-400.
Yang, Won Y., Cao, W., Chung, T. dan Morris, J., (2005), “Applied Numerical Methods Using MATLAB”, John Wiley and Sons Inc., United State of America.
Yetti, M., Nazamid, B.S., Roselina, K. Dan Abdulkarin, S. M., (2007), “Improvement of Glucose Production by Raw Starch Degrading Enzyme Utilizing Acid-Treated Sago Starch as Substrate”, ASEAN Food Journal 14(2), pp. 83-90.
Yoonan, Kanlaya dan Kongkiattikajorn, J., (2004), “A Study of Optimal Conditions for Reducing Sugars Producton from Cassava Peels by Diluted Acid and Enzymes”, Kasetsart Journal (Natural Science) 38, pp. 29-35.

 
Powered by Blogger